Biografi Abdul Haris Nasution – Konseptor Perang Gerilya dan Dwifungsi ABRI

“Nabi Muhammad SAW!” Para wartawan Australia menjadi tercengang ketika mendengar jawaban atas pertanyaan mereka, “Siapa tokoh yang paling anda kagumi di dunia ini?” pada orang itu. Ketercengangan para wartawan Australia itu -bisa jadi- sangat beralasan, karena orang yang mereka tanya adalah sosok tentara sejati Indonesia yang kemudian merupakan salah seorang dari tiga orang Indonesia yang menyandang lima bintang di atas pundaknya, Abdul Haris Nasution.

Jawaban tegas itu menunjukkan kesalehan Jenderal Besar ini pada agama yang dianutnya. Memang demikianlah adanya. Nasution dikenal sebagai sosok yang taat beribadah. la jujur, bersih, sederhana, lagi santun. Keras dan teguh kukuh memegang kebenaran serta berani menyuarakan kebenaran yang diyakininya, sekalipun berseberangan dengan pendapat presiden, seperti yang ditunjukkannya pada Presiden Sukarno pada peristiwa 17 Oktober 1952.

Abdul Haris Nasution juga berhati lembut ketika batinnya tersentuh. Hingga Jenderal yang terkenal sebagai peletak dasar perang gerilya inipun tak sungkan-sungkan menitikkan air mata harunya karena mendapati suatu kejadian yang memilukan hatinya, seperti ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi akibat kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Gerakan 30 September-nya di awal Oktober 1965.

Pak Nas, demikian biasa orang menyapanya, dilahirkan di Kotanopan, Sumatera Utara, pada tanggal 3 Desember 1918. Di usia mudanya ia menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia di tahun 1940, ia sangat tertarik hingga turut mendaftar dan diterima. Jadilah ia anggota KNIL (Koninklijke Nederlands Indhische Leger), Tentara kerajaan Hindia belanda dengan pangkat pembantu Letnan dan di tempatkan di Surabaya.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia di tahun 1942, ia turut berperang melawan Jepang. Belanda ternyata tidak mampu menghadapi kekuatan tentara Jepang hingga pasukan di mana Nasution muda berada menjadi tercerai-berai karenanya. Dengan bersepeda Nasution kemudian meninggalkan Surabaya menuju Bandung.

Di kota Bandung Nasution menjadi pegawai pamong praja. Alih profesi itu ternyata tidak lama ia jalani karena ‘darah' militernya tak selaras dengan tugas yang dilakoninya sehari-hari. Tahun 1943 ditinggalkannya tugas sebagai ‘priyayi' dan kembali memasuki kancah militer. Tercatat Nasution menjadi Wakil Komandan Barisan Pelopor di Bandung.

Setelah Jepang takluk tanpa syarat kepada Sekutu, dan PETA dibubarkan, Nasution menyatukan para pemuda bekas anggota PETA dan KNIL, hingga kemudian mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Karier militernya terus melejit hingga tahun 1946 ia ditunjuk menjadi Panglima Divisi III/Priangan dan seterusnya ia dikukuhkan menjadi Panglima Divisi Siliwangi oleh Presiden Sukarno pada bulan Mei 1946.

Karier Nasution terus naik. Februari 1948 Nasution menjadi orang kedua setelah Jenderal Soedirman dalam dinas ketentaraan dengan jabatan Wakil Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Jabatan itu dihapuskan sebulan kemudian dan Nasution ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai Panglima Komando Jawa. Sebuah jabatan yang sangat tinggi dalam strata militer untuk ukuran usia 30 tahun, usia Nasution ketika memangkunya. Pada usia 31 tahun, Nasution naik ke tahta Kepala Staf Angkatan Darat(KSAD).

Kecemerlangan karier militer Nasution ditunjang pula oleh kecemerlangan pemikirannya. Dialah penggagas sistem perang gerilya dan menuangkan gagasan briliannya itu ke dalam sebuah buku bertajuk Strategy of Guerrilla Warfare. Buku strategi perang yang sangat fenomenal hingga menjadi acuan standar akademi militer di sejumlah negara hingga kini.

Abdul Haris Nasution dikenal kukuh tidak gentar menghadapi ketidakberesan. Ketika mendapati politisi sipil mulai campur tangan di tubuh militer, ia tidak bisa tinggal diam. la mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno agar membubarkan Parlemen dengan berani menanggung segala konsekuensinya. Namun, keberanian Pak Nas dianggap menekan Presiden. Akibatnya, Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1952. Tetapi tiga tahun kemudian jabatan itu kembali diberikan kepadanya.

Pada tahun 1957, terjadilah pemberontakan Permesta (Piagam Perjuangan Rakyat Semesta) di mana Letnan Kolonel Vence Sumual memproklamasikan berdirinya Permesta pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado. Tidak lama berselang, 15 Februari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein juga memproklamasikan berdirinya PRR (Pemerintah Revolusioner Republik/ndonesia) di Sumatera Barat. Menghadapi dua pemberontakan itu Presiden Sukarno segera menyatakan negara dalam keadaan perang (SOB) dan menunjuk Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat. Pak Nas segera bertindak cepat dengan membentuk operasi-operasi untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan itu. Kedua Pemberontakan itu dapat cepat diatasi dan berakhir sekitar pertengahan tahun 1961

Selain menghadapi masalah pemberontakan di daerah, situasi politik nasional juga terus-menerus menghangat. Para anggota Dewan Pembuat Undang-Undang (konstituante) terus-menerus berdebat berkepanjangan dalam menyusun sistem pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia, Meskipun hampir 2 tahun mereka bersidang, dari 10 November 1956 hingga tahun 1958, mereka tidak menghasilkan suatu keputusan apapun juga. Menghadapi situasi yang serba tidak menentu dan menjurus pada krisis nasional itu Pak Nas kemudian mengajukan sarannya kepada Presiden Sukarno untuk kembali ke UUD 1945, Saran Pak Nas mendapat tempat hingga pada tanggai 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan membubarkan konstituante.

Hubungan antara Presiden Sukarno dan Pak Nas kembali kurang harmonis karena ketidaksenangan Pak Nas melihat kedekatan Presiden Sukarno dengan PKI di awal tahun 1960. Kekurangharmonisan itu terus meruncing hingga terjadi peristiwa berdarah yang dilancarkan PKI dengan Gerakan 30 Septembepnya, Sebagai orang yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangannya pada komunis, Pak Nas tentu menjadi ‘sasaran tembak' nomer satu oleh gerakan itu. Beruntung Pak Nas dapat selamat dari penculikan berdarah itu meski tertembak kakinya. Pak Nas juga harus merelakan puteri mungilnya, Ade Irma Suryani Nasution, yang meninggal dunia tertembus peluru anggota gerakan 30 September yang membabi buta.

Hubungan antara Pak Nas dan Presiden Sukarno akhirnya menjadi rivalitas terbuka setelah Presiden Sukarno ‘tidak menyalahkan' PKI atas peristiwa berdarah di malam menjelang pagi tanggal 30 September 1965 itu. Pak Nas kemudian bersatu dengan Mayor Jenderal Suharto yang menjabat Pangkostrad (Panglima Komando Strategi Angkatan Darat) untuk menumpas dan memberantas PKI hingga akhirnya Presiden Sukarno terguling.

Pak Nas kemudian ditunjuk menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sekalipun beberapa petinggi Angkatan Darat berulang-ulang mendesaknya untuk menggantikan Sukarno sebagai presiden. Lewat keputusannya, MPRS kemudian menetapkan Jenderal Suharto menjadi Presiden pada tahun 1968. Dimulailah lembaran baru dalam pemerintahan Indonesia dengan sebutan Orde Baru (Orba).

Kemesraan hubungan Pak Nas dengan Presiden Suharto rupanya juga tidak berlangsung lama. Keterlibatan Pak Nas dalam Petisi 50 menyebabkan Pak Nas dipensiunkan lebih dini dari dunia militer. Perlahan namun pasti nama Pak Nas ‘lenyap' dari pentas politik dan militer nasional.

Seperempat abad kemudian, 1997, nama Pak Nas kembali muncul. Secara tidak terduga ia dianugerahi pangkat Jenderal Besar pada hari ABRI 5 0ktober 1997 oleh Presiden Suharto. Jadilah ia salah satu dari tiga orang di Republik ini yang menyandang 5 bintang di atas bahunya. Dua yang lainnya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Jenderal Besar Suharto.

Sekitar tiga tahun kemudian Jenderal Besar Abdul Haris Nasution menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Soebroto Jakarta setelah dirawat beberapa waktu. Tanggal 6 September 2000 akan dikenang bangsa Indonesia, terutama Tentara Nasional Indonesia, sebagai hari berkabung atas berpulangnya Prajurit dan pemikir besar itu ke pangkuan Tuhan.