Biografi Abdul Muis – Pejuang dan Sastrawan

Berjuang memang tidak harus selalu dengan senjata. Berjuang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bisa melalui pena, karena kekuatan pena ternyata tidak kalah tajamnya dibandingkan peluru maupun pedang. Bisa juga melalui persatuan dalam organisasi, karena persatuan akan saling kuat-menguatkan untuk meraih satu tujuan bersama yang diharapkan. Atau melalui diplomasi, karena ‘pertempuran' di medan diplomasi membutuhkan strategi dan siasat tersendiri. Berjuang demi meraih kemerdekaan bangsa bisa dilakukan melalui berbagai cara.Tidak banyak memang orang yang mampu memanfaatkan berbagai cara yang berbeda-beda dalam perjuangannya. Salah satunya yang bisa, Abdul Muis orangnya.

Abdul Muis mampu mengoptimalkan segenap potensi yang ada di dalam dirinya untuk berjuang dan melawan penindasan penjajah. Dalam berbagai peran dan cara, Muis tetap berkeinginan kuat melihat bangsa dan tanah air tercintanya terlepas dari belenggu penjajahan.

Abdul Muis dilahirkan di Sungai Puar, Sumatera Barat, tanggal 3 Juli 1883. Sungai Puar adalah wilayah yang tidak jauh dari Bukit Tinggi yang telah menjadi saksi bisu kehebatan orang-orang Minangkabau di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol dalam melawan penjajah Belanda. Perjuangan untuk lepas dari belenggu penjajah yang dahulu dilakukan Tuanku Imam Bonjol diteruskan Muis melalui cara dan strategi yang berbeda.

Dalam dunia ‘pena', Muis dikenal sebagai sastrawan besar dan juga wartawan. Dari buah pikirnya telah tahir buku roman Salah Asuhan yang sangat terkenal itu. Selain itu ia juga menulis Surapati yang menceritakan sepak terjang perjuangan Untung Surapati dalam melawan Kompeni Belanda. Sekalipun melalui sastra, Muis tetap menumbuhkan kesadaran kecintaan pada tanah air dan bangsa Indonesia.

Selain sastrawan, Muis juga dikenal sebagai wartawan handal. Tercatat ia pernah bekerja pada surat kabar Preanger Bode Bandung, harian De Expres yang dipimpin Danudirja Setiabudhi, harian Kaoem Moeda dan juga harian Neraca yang dipimpin H. Agus Salim.

Abdul Muis, Agus Salim dan Datuk Tumenggung (pemimpin umum percetakan De Evolusi) sering disebut tiga serangkai yang berjuang melalui Sarekat Islam kecuali Datuk Tumenggung yang kemudian menjadi pejabat tinggi pemerintahan Belanda.

Abdul Muis melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan cara uniknya. Selain melaIui tulisan-tulisannya, ia Juga menggelorakan pemboikotan perayaan yang diadakan Belanda untuk mengenang seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis. Sungguh memang terasa sangat memilukan hati bagi bangsa yang tengah dijajah namun dipaksa merayakan peristiwa terbebasnya sang penjajah dari penjajahan yang dulu dialaminya. Namun akibat aksi pemboikotannya itu, Muis harus berhadapan dengan mahkamah pengadilan yang mengadilinya.

Abdul Muis berjuang pula dalam wadah organisasi kebangsaan. la yang pernah belajar di Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA) namun tidak sampai Iulus itu tercatat pernah bergabung dengan organisasi Sarekat Islam hingga diangkat sebagai salah seorang anggota pengurus besar.

Di setiap kesempatan, sastrawan besar Indonesia itu selalu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk kepentingan negeri tercintanya. Ketika ia dikirimkan ke negeri Belanda pada tahun 1917 atas nama Komite Ketahanan Hindia Belanda IIndie Weerbaar),  Muis memanfaatkan kesempatan itu untuk mempe-ngaruhi tokoh-tokoh politik Belanda untuk mendirikan Sekolah Teknologi Tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia. Perjuangan Muis tidak sia-sia karena sekolah itu akhirnya didirikan di Indonesia dan sekarang terkenal namanya dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merupakan salah satu sekolah ‘penghasil’ ahli-ahli teknik yang terpandang di tanah air.

Abdul Muis bersama dengan Oemar Said Cokroaminoto yang mewakili Sarekat Islam dalam Volkstraad (Dewan Rakyat) pada tanggal 25 November 1918 pernah mengajukan mosi terhadap pemerintah Kolonial Belanda agar membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih sendiri oleh rakyat.

Ketika terjadi pemogokan masal para buruh di Yogyakarta pada tahun 1922 yang disinyalir Belanda atas ‘ulah' De Staking Skoning alias Raja Pemogokan, Raden Mas Suryopranoto, Muis jelas-jelas terlibat dalam aksi itu karena ia merupakan salah seorang pemimpin pemogokan besar-besaran itu.

Karena perlawanan yang ditunjukkannya, pemerintah Kolonial Belanda akhirnya menangkap sastrawan besar itu dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat, pada tahun 1927. Sekalipun demikian, daerah pembuangan baginya bukan daerah untuk bersepi-sepi dan ‘mengasingkan diri’ dari perjuangan. Di Garut, Muis Membentuk persatuan perjuangan priangan untuk membantu perjuangan para pejuang dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Muis seolah-olah tidak kehabisan akal dan cara untuk menunjukkan perjuangannya melawan penjajah.

Pejuang dan sastrawan besar ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959. Jenazahnya dimakamkan pula di kota kembang itu. Pemerintah Indonesia mengangkat Abdul Muis sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1959.