Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Presiden Inspiratif Ikon Pluralisme Indonesia

Pada 30 Desember 2009 lalu, mantan presiden Indonesia yang satu ini meninggal dunia. Sekarang, di empat tahun sepeninggalannya, nama sang presiden masih terus mengabadi. Dedikasi yang diberikan pada negeri ini membuat ia mendapat predikat sebagai ikon pluralisme di Indonesia. Pemikirannya sederhana, la juga humoris. Selentingannya yang paling terkenal adalah: “Gitu aja kok repot”. Tentu saja langsung bisa ditebak, siapakah tokoh yang dimaksud tersebut, K.H. Abdurrahman Wahid.

K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering dikenai dengan nama Gus Dur lahir pada 7 September  1940. Ia cucu pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Saat lahir, sebenarnya Gus Dur diberi nama Abdurrahman Ad-Dakhil. Ad-Dakhil sendiri mempunyai arti sang penakluk. Namun akhirnya, nama Ad Dakhil diganti dengan Wahid.

Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ia menghabiskan masa kecilnya di Jombang dan Jakarta. Ketika di Jombang, Gus Dur pernah tinggal bersama kakeknya, K.H. Hasyim Asyari. Dari kakeknya inilah ia belajar membaca Alqur'an dan di usianya yang baru menginjak lima tahun, Gus Dur sudah mahir membaca Alqur'an.

Gus Dur dan keluarganya pindah ke Jakarta pada tahun 1944, karena harus mengikuti ayahnya yang saat itu menjabat sebagai Ketua Partai Masyumi. Setelah Indonesia merdeka, Gus Dur kembali hidup di Jombang. Namun, empat tahun setelahnya, ia musti balik ke ibukota karena sang ayah terpilih sebagai Menteri Agama.

Gus Dur mengenyam bangku sekolah dasar di Jakarta, tepatnya di SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD Matraman Perwari. Namun, di usianya tersebut Gus Dur harus merasakan kehilangan figur seorang ayah. Di usianya yang ketiga belas, ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil.

Setamat dari pendidikan dasar, Gus Dur melanjutkan sekolah menengah di Yogyakarta, la sekolah sambil mengaji di pesantren Ali Maksum, Krapyak. Setelah itu, Gus Dur melanjutkan sekolah di Pondok Tegalrejo, Magelang selama dua tahun. Lalu pada tahun 1959, ia kembali hidup di jombang dan melanjutkan pendidikannya di pesantren Tambak Beras, Jombang. Di kota kelahirannya inilah, masa depan Gus Dur mulai terlihat Di pesantren tersebut, Gus Dur pernah menjabat sebagai guru dan kepala sekolah.

Sejak kecil, Gus Dur gemar membaca. Bukan hanya buku, ia juga hobi membaca majalah, koran, dan lain- lain. Teman-temannya di pesantren Tambak Beras bahkan menjulukinya sebagai seorang kutu buku. Para santri tersebut sempat terheran-heran dengan kegemaran membaca yang dimiliki Gus Dur. Ada cerita menarik mengenai hal ini. Konon, sewaktu pertama kali Gus Dur tiba di pesantren, bukannya pakaian atau keperluan sehari-hari yang Gus Dur bawa, melainkan buku-buku. Hal ini membuat para santri terkesan. “Satu becak penuh buku yang dibawa. Rata-rata berbahasa Inggris.”

Selain buku, Gus Dur juga hobi membaca koran. Hampir setiap pagi koran menjadi bacaan wajibnya. Padahal, kebiasaan membaca koran di pesantren waktu itu masih terbilang jarang dilakukan. “Koran itu harus dibaca, jangan dilihat, kamu tahu apa?” kenang KH. Ilham menirukan gaya bicara Gus Dur. KH. Ilham adalah sahabat Gus Dur waktu di pesantren Tambak Beras.

Dari kedua jenis bacaan itu Gus Dur mempunyai wawasan dan pemikiran yang luas. Ia juga selalu dianggap murid yang otaknya paling encer dibanding teman-temannya. “Otaknya sangat encer. Dia sangat luar biasa,” KH. Ilham kembali memberikan pujian.

Meskipun dekat dengan keluarga kyai. Gus Dur tak menutup diri untuk membaca buku-buku seputar kehidupan non-muslim. Mungkin karena kegemarannya membaca inilah yang mempengaruhi pola pikiran Gus Dur yang menganggap perbedaan agama tidak layak jadi alat pemecah bangsa. Ia terkenal sangat pluralis. Beliau adalah orang yang bisa merangkul semua kalangan, yang berbeda baik dari segi agama dan budaya. Dedikasi Gus Dur tersebut terbukti dengan diberikannya penghargaan Culture of Peace Distinguished Award 2003 dari International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia

Tak banyak yang tahu jika Gus Dur yang gemar sekali membaca itu pernah punya cita-cita menjadi tentaraGus Dur pernah ingin bergabung dengan AKABRI. Namun, Gus Dur harus mau merelakan cita-citanya itu karena di usianya yang ke-14, ia harus memakai kaca mata minus.

Tapi itulah Gus Dur. Semangatnya tak lantas surut karena gagal di satu bidang. Tak bisa menjadi tentara, maka ia pindah cita-cita dan memutuskan menjadi guru. “Saya hanya ingin menjadi guru bangsa, seperti Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, Kakek saya Kiai Hasyim, dan sebagainya.” Cita-cita sederhana itu terkabul. Bahkan jauh melebihi cita-citanya itu, ia mampu menjadi seorang kepala sekolah di Sekolah Mualimin Tembak Beras.

Pada awal Gus Dur menjadi guru, bukannya bidang agama yang ia ajarkan, melainkan kesenian. Para temannya memang mengakui jika Gus Dur sangat mencintai kesenian. Ia juga pandai menyanyi dan gemar menonoton film. “Dia juga pandai nyanyi. Bahkan soal olahraga, Gus Dur jagonya, terutama catur. Banyak buku yang dimiliki mengenai catur dan sepak bola. Buku-bukunya paling banyak di antara santri lainnya.”

Selain otaknya encer di beberapa bidang ilmu pengetahuan, Gus Dur juga terampil dalam bidang alih bahasa. Pernah di satu kesempatan. Gus Dur menerjemahkan pidato Muhammad Tatut, seorang tamu dari Israel. Pidato itu menggunakan bahasa Arab. Gus Dur tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa mengartikan isi pidato itu karena hanya dalam waktu 2 jam, pidato tersebut sudah sukses dialihbahasakan ke bahasa Indonesia olehnya.

Gus Dur mempunyai banyak kegemaran. Selain membaca, ia juga gemar menonton bola, bermain catur, dan menonton bioskop. Masyarakat pun tidak heran jika suatu ketika pernah melihat Gus Dur tampil sebagai komentator bola. Dari kegemarannya menikmati him, Gus Dur memang erat dengan kesenian. Berkaitan dengan itu, ia pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mulai tahun 1982 hingga 1985. Tak hanya itu ia juga pernah menjadi juri di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.

Gus Dur memang kutu buku. Namun demikian, ia bukan tipe murid yang suka menyendiri di kamar untuk menghabiskan wakunya dengan buku. Teman-temannya bahkan kerap kali memergoki Gus Dur absen dari pelajaran di kelas hanya karena ia ingin bermain di luar kelas. Ia sering membolos.

Gus Dur punya cara unik ketika membolos. “Dia sering nitip buku atau kitab ke teman-temannya. Dia sendiri malah bermain.” Jadi, untuk mengelabui gurunya supaya tidak ketahuan kalau ia membolos, Gus Dur menitipkan buku atau kitabnya pada teman-temannya. Dengan begitu para guru tidak curiga kalau ia tidak hadir di kelas. Namun demikian, tingkah Gus Dur itu kerapkali membuat gurunya berang. Kalau sudah begitu, Gus Dur dengan enteng akan menjawab kalau sebenarnya ia hadir di kelas, meskipun wujud fisiknya tidak dapat dilihat “Saya kan masuk. Buktinya buku dan kitab saya ikut dikumpulkan.”

Memang sudah menjadi kebiasaan Gus Dur malas mengikuti kegiatan di dalam kelas. Namun, hal tersebut tak lantas membuat Gus Dur ketinggalan pelajaran, la bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan gurunya, walaupun pada saat materi itu diberikan Gus Dur tidak mengikutinya. “Ternyata Gus Dur mempelajari semua yang akan diajarkan. Karena bisa menjawab, Gus Dur selalu lolos dari hukuman” terang KH. Ilham. “Kalau soal pelajaran, Gus Dur memang selangkah lebih maju. Bahkan dibanding gurunya sekalipun. Rahasianya, Gus Dur selalu membaca duluan pelajaran-pelajaran itu.”

Para santri, guru, dan teman-teman Gus Dur percaya jika ada banyak faktor yang membuat Gus Dur punya pemikiran cerdas. Selain karena Gus Dur punya minat baca yang tinggi, gen orang tua juga menjadi salah satu faktor kenapa Gus Dur bisa sepandai itu. “Dari garis keturunan, keluarga Gus Dur memang bukan orang biasa.”

Selain pintar dan humoris, Gus Dur juga dikenal dengan kesederhanaannya. Selama mondok di pesantren, ia hanya cuma punya satu motor : Vespa. Konon, vespa ini adalah motor pemberian dari ibunya. Saking seringnya mengendarai motor ini, teman-temannya di pesantren sampai hafal dan menyebut vespa sebagai ciri khas Gus Dur. “Vespanya warna hijau, ke mana saja, Gus Dur selalu membawa vespa itu.”

Meskipun sibuk dengan bermacam kegiatan, layaknya remaja pada umumnya Gus Dur juga tidak absen dari urusan asmara. Ia meminang Shinta Nuriyah yang tak lain adalah muridnya sendiri. Dari pernikahannya dengan Sinta, Gus Dur dikaruniai lima anak. KH. Ilham juga mempunyai peranan besar dalam urusan asmara Gus Dur. Dulu, istri Gus Ilham sempat menjadi perantara atau mak comblang di antara hubungan mereka. “Biasanya, saya yang disuruh agar istri saya itu memanggilkan Bu Shinta. Alasannya macam-macam. Kadang-kadang, Gus Dur menyuruh Bu Shinta memasang foto mading (majalah dinding) hanya karena ingin bertemu.”

Di awal pernikahannya, Gus Dur pernah mengalami kesulitan ekonomi. Untuk mengatasi hal tersebut keduanya sempat nyambi berdagang. Sinta Nuriyah memilih dagang kecil-kecilan, yakni menjual kacang tayamum. Sementara sang istri menggoreng kacang, Gus Dur membantu membungkus kacang ke dalam, plastik dan mengelemnya dengan lilin. Hampir setiap malam mereka melakukan aktivitas tersebut

Selain berjualan kacang, Gus Dur juga pernah jualan es lilin. Vespa hijau miliknya itulah yang menjadi teman Gus Dur ketika menjajakan es lilin tersebut Dulu, ia sering berkeliling berjualan es lilin menggunakan vespanya. Masyarakat memberi label pada es lilin buatan Gus Dur itu dengan “es lilin Gus Dur”.

Di tahun 1964, setamat dari sekolah menengah. Gus Dur melanjutkan studinya ke universitas Al- Azhar di Kairo, Mesir. Di sana, ia menekuni bidang syari'ah. Setelah itu, Di Al-Azhar justru pemikiran kritis Gus Dur di bidang politik mulai terasah. Saat kuliah di universitas bergengsi itu. Gus Dur menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kairo. Kemudian selama di Mesir, Gus Dur juga bekerja di Kedutaan Besar Indonesia.

Setelah itu, Gus Dur kembali menekuni studi bahasa Arab ke Baghdad, Irak. Sepulang dari Baghdad, Gus Dur kembali ke Jombang dan menjalankan profesinya sebagai guru. Di tahun 1974, Gus Dur menjadi sekretaris di pesantren Tebu Ireng, Jombang dan ia kembali meneruskan bakatnya untuk menjadi seorang penulis. Ia menulis di berbagai media sebagai kolomnis. Tulisan-tulisannya yang kritis banyak mendapat perhatian masyarakat pada waktu itu.

Gus Dur bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Di lembaga ini pula ia menjadi salah satu kontributor majalah yang diterbitkan oleh lembaga tersebut Gus Dur pun berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya yang kritis kerap menghiasi halaman media layaknya Kompas dan Tempo.

Di tahun 1980 sampai 1984, Gus Dur bergabung di PBNU dan menjabat sebagai Katib Awwal PBNU. Di lembaga inilah Gus Dur mulai banyak terlibat dalam diskusi antar agama, suku, dan disiplin ilmu. Tak lama setelah itu, di tahun 1984-2000, karier Gus Dur mulai menanjak dan menjabat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Di antara tahun-tahun tersebut, yakni tahun 1987-1992 Gus Dur juga menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah itu, Gus Dur menduduki kursi MPR RI di tahun 1989-1993.

Di puncak kariernya, Gus Dur dilantik sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia dalam masa jabatan 1999-2001. Orang-orang terdekatnya merasa bangga dengan pencapaian Gus Dur. Mereka yakin dengan gaya kepemimpinan Gus Dur yang memang sudah kelihatan sejak ia masih kecil. “Dia (Gus Dur) baik. Sejak kecil dia baik dan dia layak menduduki kursi presiden karena memang layak memimpin.” Beberapa orang pun menyayangkan lengsernya Gus Dur sebelum tenggat jabatannya usai. Sayang, belum habis masa jabatannya, Gus Dur sudah lengser.”

Meskipun sudah menjadi presiden, Gus Dur tidak lantas mengubah jati dirinya. Ia tetap nyeleneh dan apa adanya. Mungkin cuma Gus Dur, satu-satunya presiden yang tanpa risih bisa tampil di hadapan publik hanya dengan menggunakan celana pendek dan kaos. Mungkin juga cuma Gus Dur, satu-satunya presiden yang bisa berpikiran santai dan seakan menyederhanakan masalah tanpa harus menyepelekannya : Gitu aja kok repot! Gus Dur memang sudah meninggalkan negeri ini. Namun, tidak demikian dengan dedikasi dan buah pemikirannya. Indonesia layak bangga punya sosok layaknya Gus Dur.