Biografi Mush’ab bin Umair ra – Sang Duta Hijrah Islam Pertama ke Madinah

Siang itu Ustman bin Thalhah mendatangi pusat kota Mekkah. Tujuannya untuk bertemu dengan para pembesar Quraisy. Orang-orang memang sudah menugasinya agar menga­wasi gerak-gerik pengikut Muhammad. Ya, Ustman memang satu dari sekian banyak mata-mata pembesar Quraisy yang su­dah disebar sejak Muhammad mengumumkan dirinya adalah nabi dan utusan Allah SWT. “Sore itu, aku melihat pemuda itu mengendap-endap ke bukit Shafa. Lalu masuk ke rumah Arqam bin Abui Arqam. Di lain waktu, aku juga sempat melihat dia shalat bersama Mu­hammad. Tahukah kalian siapa yang aku maksud. Dia ada­lah Mush’ab bin Umair. Sungguh, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri pemuda itu bersama-sama dengan pengikut Muhammad.” Lapor Ustman bin Thalhah dengan cepat.

Kondisi Mekkah waktu itu memang sedang ramai membi­carakan sosok Muhammad. Mendengar pengakuan Muham­mad, banyak yang menuduhnya berdusta. Tapi tidak dengan Mush'ab yang menggunakan kecerdasannya untuk berpikir. “Muhammad berdusta? Ah… mustahil. Bukankah dia yang bergelar Al-Amin karena kejujurannya selama ini?”

Saat itu hatinya merasa tergelitik. Sungguh, dia tidak bisa menghapus rasa ingin tahu yang tiba-tiba datang tak terben­dung. Dia sendiri tidak pernah ragu akan apa yang dikatakan Muhammad. Apalagi, saat Muhammad mengajak seluruh ma­nusia untuk menyembah Allah SWT saja. juga tentang kabar gembira dan peringatan yang disampaikan laki-laki mulia itu. Sungguh! Mush'ab tidak pernah ragu.

Maka, Mush’ab pun mulai mengumpulkan informasi dan berita tentang Muhammad. Hingga berita tentang tempat berkumpul Muhammad dan pengikutnya sampai ke telinga­nya. Tepatnya di rumah Arqam bin Abui Arqam di bukit Shafa. Tempat yang jauh dari gangguan kaum Quraisy. “Aku harus ke sana,” tekad Mush'ab dalam hati.

Tekad itu akhirnya terlaksana pada suatu sore. Mush'ab mendatangi rumah Arqam. Dia pun duduk di sudut ruangan. Dia mendengarkan dengan saksama ayat-ayat Al-Qur'an yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad. Sungguh, Mush'ab amat takjub. Di hatinya tak ada sedikit pun keraguan. Dia yakin itu bukanlah karangan Muhammad. Tapi wahyu dari Allah untuk seluruh umat manusia.

“Ya Rasulullah…, sungguh aku mengakui semua kebenaran ini. Maka, terimalah keimananku ini” Mush'ab pun tidak bisa menahan semangat yang membuncah di dadanya.

Rasulullah Muhammad mendekati Mush'ab bin air yang sedang terharu. Tangan yang mulia itu mengelus dada Mush'ab seolah ingin meredakan gejolaknya. Subhanallah, tiba-tiba saja dada yang tengah panas dengan semangat yang menggelora menjadi tenang. Mush'ab yang biasanya menjadi bintang dengan balasan pujian dari manusia, sekarang sudah menjadi Mush'ab yang tercelup wahyu ilahi. Dia menja­di seorang pemuda yang cerdas, arif, dan bijaksana.

Sebenarnya, Mush'ab sudah paham akan konsekuensi dari pilihan hatinya. Dia sudah memperkirakan berita keislaman di­rinya akan segera terdengar oleh keluar­ganya. Mush'ab pun sudah menyiapkan dirinya untuk mengha­dapi rintangan apa pun. Tapi, ada satu rintangan yang menggan­jal dalam hatinya. Yaitu ibunya, Khunas binti Malik yang terkenal tegas dan disegani bahkan oleh para pembesar Quraisy.

Dan hari ini, Mush'ab berdiri di hadapan ibunya, keluarga besar, dan para pembesar Quraisy. Mush'ab tahu kalau berde­bat tidak akan ada kata selesai. Maka, dia pun membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah diajarkan Rasulullah. Hati­nya menjadi tenang dan suaranya yang terdengar menggema membuat semua tertegun.

“Berhenti!” Suara yang penuh kemarahan itu sangat Mush’ab kenal. Suara milik ibunya sendiri.

Kini, ibunya berdiri sangat dekat di hadapan Mush'ab. Ta­ngannya terangkat siap untuk menutup mulut anaknya. Untuk pertama kalinya, Khunas binti Malik ingin menampar anak ke­sayangannya. Namun tiba-tiba tangannya berhenti dan malah jatuh terkulai. Saat itu Khunas melihat wajah Mush'ab tampak bercahaya.

Khunas pun menyadari tidak ada gunanya menggunakan jalan kekerasan pada Mush'ab. Hal itu tidak akan membuat Mush'ab meninggalkan ajaran Muhammad, justru ketika men­dapat tekanan fisik, Mush'ab makin kuat pada pendiriannya. Dan itu berarti Khunas gagal mengajak Mush'ab keluar dari agama Muhammad.

Khunas pun memutuskan untuk mengurung Mush’ab de­ngan pengawasan ketat Entah untuk berapa lama Mush’ab terus dalam pengawasan orangtuanya. Hingga kabar tentang keberangkatan beberapa sahabat ke Habasyah pun sampai ke telinganya. Mush'ab bertekad untuk ikut hijrah ke Habasyah bagaimana pun caranya.

Dengan kecerdasannya, Mush'ab berhasil lolos dari para penjaga dan ibunya. Dia pun bergegas mengikuti hijrah bersa­ma sahabat Rasulullah ke Habasyah. Setelah beberapa waktu tinggal di Habasyah, Mush'ab pun kembali ke Mekkah. Mengetahui kabar ini, Khunas kembal mengatur strategi untuk me­nahan putranya lagi.

Nyatanya, kekuatan iman Mush'ab tak tergoyahkan. Mush'ab pun kembali bisa meloloskan diri dan hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Berbeda dengan Mush'ab, sang ibu makin merasa putus asa untuk meraih kembali anak kesa­yangannya. Hingga akhirnya, dia memutuskan hubungan de­ngan anak yang selama ini amat dibanggakannya.

“Pergilah…! Aku bukan ibumu lagi!”.

“Duhai Ibu.., sungguh aku sangat menyayangimu. Dan sa­ngat ingin melihatmu dalam keselamatan. Karena itu bersak­silah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Bujuk Mush'ab dengan lembut

“Aku tidak akan mengikuti ajakanmu, Mush'ab. Sungguh, ajaran Muhammad bisa membuat otakku rusak. Dan aku pasti akan menjadi olok-olokan seluruh penduduk Quraisy. Aku ti­dak mau.” Balas Khunas binti Malik penuh kemarahan.

Perasaan benci itulah yang membuat Khunas menghenti­kan semua pemberiannya pada Mush'ab. Ibunya juga melarang memberikan makanan untuk siapa saja yang menjadi pengikut Muhammad. Kini tak ada lagi Mush'ab dengan baju terbaik yang nembuat penampilannya menawan. Mush'ab pun harus rela dengan pakaian dari kain kasar yang sangat sederhana. Makan pun seadanya, bahkan lebih sering puasa. Semua itu karena dia mempertahankan iman dalam dadanya. Subhanallah!

Rasulullah amat meyakini Mush'ab. Karena itulah tugas berat ini diberikan padanya. Menjadi duta pertama ke Madi­nah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Tugasnya adalah mengajarkan Islam pada sahabat Anshar yang sudah beriman. Mush’ab juga harus mengajak penduduk Madinah yang belum beriman agar mengikuti jalan keimanan. Hal itu sebagai persi­apan agar Madinah bisa dijadikan tempat hijrah.

Dan ternyata, pilihan Rasulullah adalah yang terbaik. Meski banyak sahabat-sahabat yang lebih tua atau lebih dahulu masuk Islam, Rasulullah lebih memilih Mush'ab. Tak lain, karena Mush'ab memiliki kecerdasan dan berakhlak mulia. Sikapnya yang penuh kejujuran, kesederhanaan dan keihklasan menjadi daya tarik bagi penduduk Madinah yang mendengar penjelasannya.

Atas pertolongan Allah, hanya dalam beberapa bulan Mush'ab berhasil mengajak 70 orang dari Madinah untuk me­nyatakan keimanannya di hadapan Rasulullah. Mereka pergi dari Madinah menuju Aqabah, dan peristiwa itu dikenal dengan Bai'at Aqabah ke-2.

Puncak kemurnian iman Mush'ab dibuktikan saat maju ke medan perang Uhud. Rasulullah memercayakan bendera kaum Muslimin ke tangan pemuda itu. Karena ketidaktaatan pada perintah Rasul, maka tentara Muslimin bisa diporak-porandakan oleh tentara Quraisy. Saat itulah Mush'ab melihat kondisi Rasulullah terancam.

“Allahuu…Akbar!” Mush'ab bergerak memancing pasukan Quraisy agar menjauh dari Rasulullah. Dia menyerang ke sega­la arah dengan penuh semangat. Tangan kanannya memegang bendera dan tangan kirinya terus bergerak dengan pedang terhunus. Sungguh, meski seorang diri Mush'ab berperang layaknya satu pasukan.

Saat itu seorang tentara berkuda dari barisan musuh yang bernama Ibnu Qamiah berhasil memutuskan tangan kanan Mush'ab. Secepat kilat tangan kirinya meraih bendera. Musuh kembali menyerang, kali ini memutuskan tangan kiri Mush'ab. Maka dengan kedua pangkal lengannya dia amankan bendera agar tidak jatuh ke tanah.

Ada yang menarik ketika kedua peristiwa itu terjadi. Saat tangan kanannya putus Mush'ab berkata, “Muhammad itu ha­nyalah seorang rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para rasul.” Kalimat itu juga yang terucap saat tangan kirinya putus. Kata-kata yang menggambarkan keyakinannya pada kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah. Dan kata-kata itu ke­lak diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an, subhanallah!

Mush'ab gugur menjadi syuhada di medan perang Uhud. Saat melihat jenazahnya Rasulullah pun tidak bisa menutupi kesedihan. Beliau berdiri mengamati tubuh Mush'ab yang pe­nuh luka dengan penuh kasih sayang. Inilah tubuh duta Islam yang pertama kali. Tubuh dari seorang hamba Allah yang me­nepati janjinya.

“Di antara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang menepati janji mereka kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 23)

Meski Mush'ab bin Umair tumbuh dalam kemewahan namun hal tersebut tidak membuatnya menjadi pribadi yang manja. Mush'ab juga tidak pernah sombong dengan wajah tampannya, atau pun kekaya­an yang ada dalam dirinya. Mush'ab juga tetap santun meski pada orang yang memusuhinya, termasuk pada ibundanya sendiri. Sungguh, akhlak yang mulia.