Biografi Chris Gardner – Dari Tunawisma Jadi Miliarder

“You got a dream, you gotta protect it. People can't do something themselves, they wanna tell you that you can't do it. You want something? Go get It. Period. It can be done, but you have to make it happen.” (Chris Gardner)

Ketika berada dalam “titik minus” dalam hidup, apa yang akan Anda lakukan? Pada saat-saat tersulit, sebagian besar orang kehilangan harapan. Mereka melepaskan mimpi-mimpi mereka. Mereka berpikiran, pada kehidupan yang normal saja “tidak mungkin berharap lebih”, apalagi dalam kehidupan yang sangat tidak normal dan parah. Mereka lebih memilih untuk mengubur mimpi-mimpi mereka.

Beberapa dekade lalu, seorang anak laki-laki kecil tinggal bersama dengan ibunya yang bekerja sebagai guru. Anak ini tidak pernah mengenal ayahnya, dan ibunya sebagai orangtua tunggal. Bekerja sebagai guru gajinya sangat minim, meski sang ibu menambah dengan pekerjaan lain, tetapi tetap saja tidak bisa mencukupi kehidupan mereka. Ibunya menikah lagi. Ia tinggal bersama dengan ayah tirinya. Ia mengalami penyiksaan yang kejam dari ayah tirinya tersebut. Keluarga ini sering berpindah-pindah rumah. Ia juga pemah tinggal beberapa waktu di panti asuhan.Keadaan yang seperti itu mendorongnya untuk melakukan petualangan setelah ia menginjak dewasa. Ia memilih bergabung menjadi anggota militer. Dengan bergabung dengan militer, ia berharap akan berkeliling dunia dan menjadi tenaga medis. Akan tetapi, harapannya ini tidak pemah terwujud.

Tak lama kemudian, ia menikah dan memiliki seorang anak. Kisah hidupnya pun semakin sulit ketika anaknya berumur 5 tahun. Ia sekeluarga menyewa sebuah apartemen kecil. Memiliki banyak utang karena tidak mampu melunasi.

Pengalaman menjadi, tenaga medis pada waktu militer mengenalkannya pada seorang ahli bedah jantung, yang kemudian mempekerjakannya sebagai asisten penelitian klinis di University of California Medicate Centre di San Francisco. Ia sempat menikmati pekerjaan itu sebelum ia memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang berpenghasilan lebih, karena ia harus melunasi berbagai tagihan.

Ia kemudian memutuskan menjadi seorang sales alat medis. Untuk menjadi salesman alat medis tersebut, ia menghabiskan seluruh tabungan keluarga untuk membeli franchise agar bisa menjual scanner tulang (Bone Density Spanner) portable. Ia yakin akan sukses menjual alat ini, karena alat ini mampu menghasilkan gambar lebih baik dari x-ray.

Namun, pada kenyataannya tidak mudah baginya untuk menjualnya. Kebanyakan dokter yang ia tawari mengatakan bahwa harga alat ini terlalu mahal, dan mereka berpikir dua kali untuk membeli sebuah alat yang terkesan mewah. Ia membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk bisa menjual 1 alat saja.

Setiap hari ia berjalan tak tentu arah dan menenteng alat medis yang berat itu dan berharap ada yang akan membeli. Ia memang dibantu oleh istrinya yang beketja sebagai buruh di sebuah laundri, tetapi penghasilan mereka berdua jauh dari cukup. Tagihan sewa rumah, biaya di tempat penitipan anak, dan tagihan lainnya semakin menumpuk. Namun, ia tidak pemah lupa untuk mengantar dan menjemput anaknya. Ia berusaha membahagiakan anaknya di tengah keterbatasan.

Kebiasannya yang kadang memarkir mobil di sembarang tempat memperparah utang-utangnya. Mobilnya disita polisi. Dalam waktu yang bersamaan, ia dan istrinya mulai terpecah. Istrinya menyadari bahwa mereka tak mampu membayar sewa rumah dan tagihan-tagihan yang semakin menumpuk.

Sang pemilik rumah sudah beberapa kali mengingatkan dan memberinya waktu satu minggu untuk melunasi. Istrinya sempat pergi beberapa hari membawa anaknya. Namun, ia bersikeras bahwa anaknya harus bersama dengan dirinya. Ia mengatakan bahwa ia akan mampu menjaga dan membahagiakan anaknya.

Tetapi kemudian, ia dipenjara karena tidak bisa membayar denda parkir sebanyak $1,200. Istrinya memutuskan untuk meninggalkannya. Istrinya pergi ke rumah saudaranya dan mencari pekeijaan di sana. Ia sedih, tetapi ia tetap semangat. Ia mengantar anaknya ke tempai penitipan setiap hari sambil menenteng alat medis yang berat. Hingga suatu hari ia diusir dari kontrakannya karena tidak mampu membayar tunggakan.

Ia dan anaknya menjadi gelandangan. Tidak punya tempat tinggal dan sering bepergian dengan perut yang keroncongan. Ia bahkan sempat tidur di toilet umum bersama dengan anaknya sebelum ia menemukan sebuah gereja tempati penampungan orang-orang tunawisma. Tetapi untuk tidur dan bisa makan di gereja tersebut juga tidak mudah. Ia harus mengantre dan bersaing dengan tunawisma yang lain. Suatu ketika ia sempat kelaparan dan mengantre untuk bisa masuk gereja tersebut, tetapi ternyata hari itu tidak ada acara, makanan, dan tidak bisa menginap.

Beberapa waktu sebelumnya, ketika ia menenteng alat medisnya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang bergaya kantoran dan mengendarai mobil Ferrari berwarna merah. Laki-laki tersebut sedang mencari tempat parkir. Ia mengatakan kepada laki-laki itu, bahwa ia akan memberikan tempat parkirnya dengan syarat ia boleh mengajukan dua pertanyaan. Ia bertanya tentang pekerjaan laki-laki tersebut dan bagaimana cara melakukan pekerjaannya sehingga berpenghasilan $80.000 sebulan.

Laki-laki dengan Ferrari merah yang ia jumpai adalah seorang yang bekerja di pialang saham. Ia pun bercita-cita bisa bekerja di perusahaan pialang saham dan bisa melunasi semua tagihan serta memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya. Setiap hari selama sebulan, ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak melihat orang yang keluar masuk dari perusahaan pialang tersebut. Suatu ketika, ia memutuskan untuk masuk ke perusahaan itu guna melihat sebuah peluang. Ia mendapatkan sebuah formulir penerimaan peserta pelatihan di perusahaan tersebut.Setiap 6 bulan sekali, perusahaan tersebut melatih sekitar 20 orang dan akan mengambil 1 orang untuk dipekerjakan. Ia mengikuti tes dengan keadaan yang sedikit berbeda dengan calon peserta yang lain. Ia baru saja keluar dari penjara karena kasus mobilnya, badannya berlumuran cat karena polisi menjemput paksa ketika ia sedang mencat rumah. Pakaiannya pun lusuh. Penampilannya menjadi perhatian banyak orang, dan tak heran bila petinggi perusahaan yang akan mewawancarainya tertawa.

Meskipun ia berpenampilan kusam dan hanya tamat SMA, ia selalu percaya diri. Ia punya sebuah prinsip hidup yang ia terapkan dan ajarkan pada anaknya. “You got a dream, you gotta protect it. People can’t do something themselves, they wanna tell you that you can ’t do it. You want something? Go get it. Period. It can be done. but you have to make it happen.”.

Akhirnya, ia pun terpilih menjadi salah satu peserta latihan. Tetapi kemudian, ia sempat menolak untuk mengikuti latihan itu begitu ia mengetahui ia tidak mendapatkan bayaran selama pelatihan, sementara ia tidak punya tempat tinggal dan harus makan bersama dengan anaknya.

Ia kemudian memutuskan untuk mengikuti latihan itu. Dalam waktu yang sama ia harus menjaga anaknya. Ia juga masih menyempatkah diri menjadi sales alat medis dengan harapan akan mendapatkan uang untuk makan. Setiap hari ia berjalan berdua dengan anaknya sambil menenteng alat medis dan sebuah koper pakaian karena tidak punya tempat tinggal. Keadaan ini tidak menyurutkan langkahnya untuk mengejar mimpinya. Berkat keyakinannya, ia menjadi satu orang yang terpilih untuk bekerja di perusahaan tersebut. Ia selalu datang lebih awal, pulang lebih akhir dan melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati hingga ia berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya.

Pelajaran dari Chris Gardner, Pursuit of Happiness

Ini adalah sebuah kisah nyata seorang pengusaha sukses yarig bernama Chris Gardner. Pria kelahiran Milwaukee, Winconsin, pada tanggal 9 Februari 1954 ini merupakan pemilik perusahaan pialang Gardner Rich Company, Inc. yang kemudian diperluas dengan Christopher Gardner International Holdings. Selain terkenal sebagai seorang pengusaha sukses, ia juga seorang yang dermawan dan motivator.

Chris Gardner telah di wawancarai di acara “Evening News with Dan Rather,” “20/20,” “Oprah,” “Today Show,” “The View,” “Entertainment Tonight,” CNN, CNBC dan Fox News Channel. Selain itu, ia juga dimuat di banyak surat kabar dan majalah termasuk People, USA Today, Associated Press, New York Times, Fortune, Jet, Reader’s Digest, Trader Monthly, Chicago Tribune, San Francisco Chronicle, The New York Post dan the Milwaukee Journal Sentinel. Tak hanya itu, kisah hidupnya dari seorang salesman dan sempat menjadi gelandangan hingga menjadi pialang saham kaya, difilmkan pada tahun 2006 dengan judul ‘The Pursuit of Happyness'.

Chris Gardner pernah kelaparan, ditinggal istri, ditangkap polisi, kesulitan membayar tagihan, memakai beberapa lembar baju yang kusam dan tinggal di jalanan bersama anaknya. Chris Gardner juga bukan seorang dari keluarga berada dan berpendidikan tinggi. Tetapi kini, hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak orang di seluruh dunia. Mengapa Chris Gardner berhasil mewujudkan mimpinya dan mengubah keadaan hidupnya 180 derajat? Tidak lain karena ia punya prinsip hidup yang selalu ia pegang. Prinsip hidup utamanya adalah bermimpi dan kemudian pertahankan mimpi itu hingga menjadi kenyataan.

Ada beberapa prinsip hidup lain Chris Gardner yang bisa diambil dari kisah hidupnya, yaitu:

Pertama, keluarga lebih utama. Ia sangat ingin membahagiakan keluarga dan berjanji akan memperbaiki keadaan keluarga, tetapi istrinya meninggalkannya. Tetapi ia tetap menjaga, dan membesarkan anaknya meskipun dalam situasi yang sangat sulit. Ia pernah merasakan hidup tanpa kasih sayang dari seorang ayah sewaktu kecil, dan ia tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama dengan dirinya. Ia ingin dirinya lebih berarti buat anaknya.

“Saya membuat keputusan dalam pikiran saya sebagai anak yang masih muda bahwa jika saya mempunyai anak, maka anak-anak harus tahu ayahnya, dan anaknya tidak boleh pergi kemana pun”, begitu kata Chris.

Dalam keadaan sulit, tak sedikit; orangtua yang mencampakkan keluarga dan menelantarkan anak- anaknya. Tetapi tidak dengan Chris Gardner. Ia tetap membawa anaknya ke mana pun ia pergi meskipun ia harus menjadi gelandangan. Ia pun tak segan-segan menegur guru yang mengajar anaknya untuk memberikan pendidikan yang lebih baik. meskipun ia belum melunasi biaya di tempat penitipan anak tersebut. Ia ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih berarti sejak dini.

Chris Gardner selalu berusaha menghibur dan memberi kekuatan kepada anaknya di saat mereka berdua tinggal di jalanan. Ia begitu bertanggung jawab dan menikmati posisinya sebagai seorang ayah; Ia membentangkan tisu di toilet umum dan mengunci pintunya rapat-rapat untuk kenyamanan tidur anaknya. Ia juga memandikan anaknya di toilet tersebut. Waktu masih punya rumah, ia juga sering memasakkan makanan untuk anaknya. Ketika ia mendapatkan sedikit uang, ia akan membelikan makanan yang disukai anaknya, meskipun ia sendiri harus menahan lapar. Ia hanya ingin melihat anaknya bahagia seperti anak-anak lain yang hidup dalam keluarga berkecukupan. Sikap Chris Gardner ini mengantarkannya mendapatkan predikat Ayah Teladan.

Kedua, percaya bahwa akan ada hari esok yang lebih baik. Chris Gardner yakin bahwa bila seseorang sabar, melewati hari-hari yang sulit tanpa mengeluh dan tetap berusaha, maka suatu hari akan datang waktunya untuk hidup yang lebih baik. Dalam keadaan tidak punya tempat tinggal dan tidak tahu akan makan dengan apa, orang- orang cenderung kalut dan putus asa. Tetapi.Chris Gardner tetap menggunakan logika, bahwa keadaan sulit tersebut tidak boleh berlanjut lama. Prinsip Chris ini tercermin dalam ucapannya: “I was homeless, but I wasn’t hopeless. I knew a better day was coming”.

Ketiga, don't ever let somebody tell you, you can’t do something. Jangan rendahkan diri Anda meskipun orang lain menganggap enteng diri Anda. Ketika wawancara di perusahaan pialang saham, Chris Gardner tidak memiliki pengalaman apa-apa, tidak punya ijazah perguruan tinggi, tidak punya prestasi yang membanggakan, dan berpenampilan kusam, tetapi ia yakin bahwa setiap orang berhak untuk berhasil. Oleh karena itu, ia tidak mendengarkan orang-orang yang menyepelekan dirinya. Orang yang mengatakah bahwa ia tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih berarti.

Keempat, kejarlah kebahagiaan. Bagi Chris Gardner, uang memang sangat penting untuk bisa bertahan hidup. Tetapi, yang utama baginya adalah kebahagiaan. Ia lebih mengutamakah kepuasan batin dan kebahagiaan daripada uang, meskipun uang sangat berarti dalam hidup.

“Find something that you love. Something that gets you so excited you can’t wait to get out of bed in the morning. Forget about money. Be happy. The money thing will come. I know so many people who have so much more money than I. They are miserable. It is so important to be happy”, begitu katanya.

Kelima, make your vision larger than yourself. Titik balik dalam kehidupan Chris Gardner, salah satunya juga didukung oleh visi hidupnya yang besar. Bagi Chris Gardner, visi itu harus lebih besar dari dirinya sendiri. Tak heran bila ia menolak semua kemustahilan. Ia bertanya kepada orang yang berhasil dan berusaha melakukan sesuatu yang lebih. Ia mempunyai visi yang besar untuk mengubah keadaannya. Visi itulah yang mendorongnya untuk maju dan membuatnya bisa bertahan dalam kehidupan yang memprihatinkan.

Selain itu, Chris Gardner mencambuk dirinya untuk melakukan dan mendapatkan sesuatu yang lebih. Sebelum menjadi seorang miliarder, ia pemah menjadi asisten, penelitian klinik dengan penghasilan $7,400 per tahun. Ia memutuskan berhenti. Kemudian, menjadi sales alat kesehatan dengan penghasilan $16.000 per tahun. Artinya, Chris Gardner selalu mendorong dirinya untuk meraih sesuatu yang lebih, Untuk mewujudkan harapannya itu ia tidak takut dan selalu siap dengan segala kemungkinan terburuk. Chris Gardner tidak cepat puas dengan apa yang diraihnya. Ia selalu membuat target yang lebih tinggi untuk ia perjuangkan.

Keenam, there is no plan B for passion. Tidak ada istilah tawar menawar dengan passion Anda. Orang selalu membuat perencanaan dalam hidupnya. Begitupun dengan Chris Gardner. Bedanya, bila orang membuat rencana A, B, C dan D untuk passion-nya. Chris Gardner justru hanya memiliki rencana A, tidak punya rencana B, C, dan D. Intinya adalah menemukan apa yang Anda suka dan mendalaminya sampai Anda berhasil. Fokus untuk sesuatu yang menarik minat Anda itu hingga Anda mendapatkannya.

Ketujuh, membangun bisnis sendiri. Bagi Chris Gardner, bekerja di sebuah perusahaan milik orang lain bukanlah satu-satunya pilihan unnik bisa berhasil dalam hidup. Keyakinan ini dapat dilihat dari tindakannya. Setelah beberapa waktu bekerja di perusahaan orang lain, Chris Gardner memutuskan untuk mendirikan perusahaannya sendiri dan mengembangkan perusahaannya itu sampai sekarang.

Kedelapan, tidak bergantung. Dalam keadaan susah Chris Gardner tidak mengemis meminta bantuan dari saudara, teman, dan orang lain. Ia menghadapinya dengan penuh keberanian. Ia memilih untuk tidak menceritakan kesulitannya agar mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Meskipun harus hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka seseorang harus tetap belajar mandiri dan tidak mengharapkan orang lain yang akan mengubah hidupnya.Kesembilan, berbagi. Tidak seperti beberapa orang yang seperti ‘kacang yang lupa dengan kulitnya', Chris Gardner semakin dermawan ketika ia telah sukses. Ia dikenal sebagai orang yang sangat peduli dan memperhatikan nasib orang-orang yang kurang beruntung. Ia memberikan sebagian dari hartanya untuk banyak organisasi amal. Tak hanya membuat program untuk orang-orang miskin, ia juga memperhatikan pertumbuhan dan pendidikan untuk anak-anak.