Biografi Cut Nyak Meutia – Pejuang Wanita Aceh yang Tak Pernah Menyerah

Aceh adalah daerah subur yang mampu menumbuhkan benih-benih perjuangan yang seolah tiada pernah surut. Penindasan, kesewenang-wenangan dan keserakahan yang ditunjukkan pemerintah kolonial Belanda tidak bisa didiamkan oleh rakyat Aceh begitu saja. Rencong-rencong pun seke­tika akan terhunus untuk menjawab perilaku penjajah yang menginjak-injak harga diri dan kehormatan itu.

Pemerintah kolonial Belanda memang telah mendapat saran berharga dari Snouck Hurgronje, yang memakai nama Mufti Abdul Gaffar, untuk mengatasi kemelut yang berkepanjangan dl bumi Serambi Mekkah itu. Para pejuang Aceh telah banyak yang gugur dan juga ditangkap serta diasingkan. Namun demikian pemerintah penjajah itu belum juga bisa bernapas lega. Rak­yat Aceh terus mem­buat pemerintah pen­jajah itu memikirkan cara untuk membe­rangus perlawanan mereka, karena rak­yat Aceh seolah tiada mengenal kata ber­akhir untuk berjuang melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Satu hilang, dua terbilang. Dua lenyap, empat siap. Empat roboh, delapan berdiri kokoh. Begitu seterus­nya

Perlawanan Teuku Umar memang telah berakhir. Begitu pula dengan perlawanan Cut Nyak Dien. Namun Belanda kembali dipusingkan dengan munculnya singa betina yang mengaum keras-keras di wilayah Perlak yang tak kalah garang dibanding Cut Nyak Dien. Dialah Cut Nyak Meutia.

Tiga tahun sebelum Belanda mendarat kembali di Aceh pada tahun 1873, Cut Nyak Meutia lahir. Itulah sebabnya masa kecil dan remaja wanita perkasa ini dilaluinya dalam suasana perang yang terus berkepan­jangan. Ia terbiasa melihat kecongkakan, keserakahan dan penindasan orang-orang Belanda terhadap rakyat sebangsanya. Bukan pula pemandangan yang aneh baginya ketika melihat orang-orang di sekitarnya mengangkat senjata melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda. Serasa tak ingin kalah, Cut Nyak Meutia bersama suami tercintanya, Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong, lantas bersiap menghadapi kesewenang-wenangan penjajah itu.

Pasangan suami istri itupun menggalang kekuatan. Tidak terlalu besar memang jumlah orang yang berhasil mereka himpun. Namun demikian sangat merepotkan dan menimbulkan kerugian besar di pihak pasukan Belanda, melalui aksi-aksi heroik mereka.

Pemerintah kolonial yang tidak ingin melihat kekuatan di Perlak itu tumbuh makin membesar, bersegera mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke sana pada bulan Mei 1905. Dalam pertempuran yang sengit, mereka berhasil menangkap hidup-hidup Teuku Cik Tunong. Suami Cut Nyak Meutia ini dieksekusi mati di tepi pantai Lhokseumawe. Tujuannya jelas, menim­bulkan rasa takut dan jera bagi orang-orang yang ber­niat melawan pasukan penjajah. Namun bukan rakyat Aceh namanya jika seketika gentar melihat eksekus mati atas diri Teuku Cik Tunong itu. Kematian Teuku Cik Tunong mereka tanggapi dengan semakin me­nguatkan barisan dan mengaktifkan serangan-serangan baru. Terlebih-lebih bagi diri Cut Nyak Meutia.Cut Nyak Meutia mengambil alih peran suaminya. Dengan keberanian luar biasanya, wanita itu bergerilya untuk mencegat dan menghadang patroli pasukan Belanda di Aceh pedalaman. Penghadangan mereka membuat pasukan Belanda tidak bisa leluasa ber­patroli dan bergerak bebas di Aceh pedalaman. Kerugi­an yang tidak sedikit dialami pasukan penjajah itu atas aksi penyergapan pasukan kecil pimpinan Cut Nyak Meutia yang kerap berpindah-pindah tempat penyerangan tersebut.

Setelah beberapa saat menjanda, Cut Nyak Meutia menikah kembali dengan rekan sesama pejuangnya yang merupakan sahabat suaminya terda­hulu, Pang Nangru. Pasangan suami istri itu bahu-membahu memimpin pasukan kecilnya untuk menyer­gap dan membuat pasukan Belanda yang tengah ber­patroli menjadi kocar-kacir karenanya.

Sangat sulit bagi pemerintah kolonial Belanda untuk memadamkan aksi perlawanan Cut Nyak Meutia berikut pasukannya mengingat mobilitas mereka yang sangat tinggi. Baru setelah mengerahkan pasukan da­lam jumlah yang besar dan dengan gerak terus mem­buru, pasukan Belanda akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian terakhir pasukan kecil pimpin­an Pang Nangru dan Cut Nyak Meutia tersebut. Terjadi pertempuran yang sangat seru di daerah Paya Cicem pada tanggal 26 September 1910.

Seperti halnya Cut Nyak Dien yang harus kehi­langan suami keduanya di medan laga, begitu pula yang dialami Cut Nyak Meutia. Di pertempuran Paya Cicem itu, Pang Nangru gugur sebagai kusuma bang­sa. Cut Nyak Meutia beserta segenap anggota pasu­kannya yang tersisa segera mundur untuk menyusun kembali kekuatan mereka.

Pucuk pimpinan pasukan kecil, berjumlah tak lebih dari 50 orang dengan persenjataan sederhana itu, kembali berada di tangan Cut Nyak Meutia. Mereka kembali meneruskan perlawanan dengan bergerilya dan berpindah-pindah tempat hingga menyulitkan pasukan Belanda untuk mengejar.

Wanita gagah berani itu tetap setia dengan perjuangan sucinya guna mengenyahkan pasukan penjajah dari negeri tumpah darahnya, sekalipun pihak keluarganya telah berulang-ulang memintanya untuk segera turun gunung dan menyerah. Satu tekad tampaknya telah memenuhi segenap rongga dada Cut Nyak Meutia : tak ada kata menyerah!.

Tidak itu saja, Cut Nyak Meutia juga mengajarkan sikap kesatria dan pantang menyerah kepada anak lelakinya, Teuku Raja Sabi. Anak lelaki Cut Nyak Meutia itu pun telah mengangkat senjata di usianya yang masih terbilang sangat muda, 11 tahun.

Perburuan pasukan Belanda untuk menangkap dan memberangus pasukan kecil pimpinan Cut Nyak Meutia terus gencar dilakukan. Usaha keras itupun membuahkan hasil ketika mereka berhasil mengetahui tempat persembunyian Cut Nyak Meutia. Peperangan pun meletus dengan seru di Alue Kurieng pada tanggal 24 Oktober 1910. Seolah tak ada lagi kata mundur bagi Cut Nyak Meutia hingga akhirnya timah panas mengenai kakinya dan membuatnya jatuh tersungkur. Dalam kondisi yang sangat parah sekalipun, wanita gagah berani ini tidak serta merta mengibarkan ben­dera putih tanda menyerah. Dihunusnya senjatanya dan dengan keberanian luar biasanya diterjangnya pasukan musuh.

Gerak tubuh Cut Nyak Meutia seketika terhenti ketika berondongan peluru berhamburan telak menge­nai tubuh dan kepalanya. Wanita pemberani jatuh terjengkang, membasahi tanah tumpah darah dengan darah sucinya, la pun menghembus napas terakhirnya di tempatnya terjatuh dan meninggalkan semangat yang terus bergelora hingga akhir jaman.Cut Nyak Meutia wafat dan dimakamkan di Alue Kurieng.Aceh. Perjuangan yang sangat luar biasa dari sosok wanita bernama Cut Nyak Meutia ini hingga Pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964 pun menganuge­rahinya gelar sebagai Pahlawan Perjuangan Kemer­dekaan seperti dua pendahulunya, Teuku Umar dan juga Cut Nyak Dien.