Biografi Hj. Siti Aminah – Pemilik Tiga Serangkai

Sebuah hal besar diawali dari hal yang kecil. Mungkin ungkapan itulah yang pas untuk menggambarkan apa yang telah diraih Hj. Siti Aminah melalui Tiga Serangkai Group. Awalnya hanya mengisi waktu luang dengan mengumpulkan soal-soal ujian dan materi yang diberikan pada muridnya 45 tahun lalu hingga menuai hal besar. PT. Tiga Serangkai yang dipimpinnya kini tak hanya di bidang percetakan namun juga merambah ke berbagai sektor usaha seperti produksi alat-alat tulis, perdagangan, mesin cetak, toko buku, bengkel otomotif, pengadaan bahan kimia untuk keperluan cetak, perdagngan kertas dan terakhir membuka pasar swalayan Goro Assalam.

Sebenarnya bagaimana sosok ibu yang sederhana ini, berikut ini adalah biografi Hj. Siti Aminah, Pemilik Tiga Serangkai Group. Aminah dilahirkan di Losari, Pacitan pada tahun 1939. Pacitan adalah daerah yang sangat tandus sehingga masyarakatnya harus berjuang dengan tekun guna menang menghadapi hidup. Aminah adalah anak kyai sekaligus guru di daerahnya. Ia disekolahkan di MI. Ketika lulus sekolah menengah atas, ia dijodohkan dengan Abdullah yang asli Solo.

Awal Usaha

Pada awalnya, Aminah dan Abdullah adalah seorang guru SD. Mereka berdua melihat bahwa cara mengajar di SD ada yang kurang, guna meningkatkan kualitas mengajar akhirnya mereka mengumpulkan bahan yang diajarkan ke murid mulai kelas satu hingga kelas enam. Mereka juga mengumpulkan soal-soal yang pernah diberikan ke murid. Kemudian mereka membukukannya menjadi diktat. Mereka kemudian memesan mesin stensilan dari Solo. Terwujudlah satu buku yang dapat diberikan ke anak didik.

Hasil cetakannya ini banyak yang meminatinya. Tidak hanya murid yang tertolong dalam belajar, rekan gurupun juga banyak yang akhirnya memesan buku yang awalnya berjudul Himpunan Pengetahuan Umum (HPO) itu. Aminah melihat ini sebagai peluang bisnis.

Ia kemudian berfikir jika tetap tinggal di Pacitan, ia sulit untuk berkembang. Akhirnya Aminah dan keluarga pindah ke Wonogiri. Di sana Aminah tetap berprofesi sebagai guru, selain itu beliau juga membuka toko buku pelajaran yang diambil dari toko buku tiga di Solo. Di dinding warungnya tertempel tulisan Agen toko Buku Tiga. Ketika tokonya menunjukkan kemajuan, ia diingatkan oleh pemilik toko Buku Tiga, Wie Sang Giem, agar merobah nama tokonya karena khawatir akan dikenakan pajak tambahan. Akhirnya agen toko buku tiga milik Aminah berubah nama menjadi “toko Tiga Serangkai”.

Saat di Wonogiri, akses kendaraan sangat susah, hanya truk gamping saja yang bisa masuk. Mereka kemudian pindah ke Solo pada tahun 1969, di Solo usaha mereka semakin maju. Aminah tetap menjalankan profesinya sebagai guru. Mereka menempati area Kampung Penumping dan akhirnya pindah ke JL. Dr. Soepomo yang kemudian menjadi pusat pengendalian bisnis kelompok Tiga Serangkai.

Untuk lebih fokus menekuni bisnis buku pelajaran, akhirnya Aminah dan Suami memilih untuk keluar dari menjadi guru SD. Mereka kemudian membeli kios di kawasan Pasar Ngapeman. Karena permintaan buku pelajaran semakin banyak akhirnya mereka tertantang untuk mencetak buku sendiri. Buku yang kemudian di cetaknya adalah Himpunan Pengetahuan Alam (HPA), Sari Bumi Indonesia (SBI), Sari Hayati (SH), dan Intisari Bahasa Indonesia (IBI). Dari situlah usahanya mulai berkembang.

Perkembangan usaha buku Tiga Serangkai tidak selalu berjalan mulus. Ada saja cobaannya. Sistem dagang tiga serangkai yang sangat sederhana yaitu penawaran diskon sampai 30% kepada grosir dan toko buku harus menemui tantangan saat penerbit lain potong kompas melakukan direct selling langsusng menjual ke sekolah-sekolah. Apalagi saat tahun 1987 adalah booming penerbit buku, Banyak penerbit yang melakukan direct selling. Dari sini Tiga Serangkai sempat menghentikan Sistem grosir selama dua tahun. Tiga Serangkai harus berbenah, mereka memperkuat armada pemasarannya dengan direct selling juga.

Tantangan baru muncul lagi, adanya kebijakan buku pelajaran hanya berlaku lima tahun membuat semua penerbit termasuk tiga serangkai harus diversifikasi ke buku anak-anak dan umum. “Setiap perubahan harus disikapi dengan jiwa besar. Kami harus berbenah. Yang penting tidak boleh putus asa, harus tetap dinamis dan inovatif.” Tegas Aminah.

Untuk menjawab tantangan jaman, Tiga serangkai yang awalnya adalah perusahaan keluarga dirubah menjadi perusahaan yang lebih profesional. Tiga Serangkai melakukan rasionalisasi terhadap karyawan, bukan mem-phk mereka tapi lebih ke memberi kesempatan menjadi mitra Tiga Serangkai. Dari sini akhirnya muncul usaha dari mantan karyawan untuk membuat LKS, kursus komputer dan sebagainya.

Leading by Example

Menurut karyawan sosok Aminah memang pantas untuk dijadikan teladan. Tidak seperti presiden komisaris lainnya, setiap hari Aminah selalu kekantor. Baginya bekerja telah menjadi bagian hidupnya. Meski semua sudah diserahkan ke anak-anaknya tapi di katorah dahulu ia menghabiskan waktu bersama alm. Suaminya membesarkan Tiga Serangkai. Bahkan disuianya yang sudah 66 tahun beliau masih sanggup melakukan outbound training di Cemoro Sewu lereng Gunung Lawu diatas Danau Sarangan.

Sosok yang tidak suka dipublikasikan karena takut riya’ ini mampu berperan sebagai pemimpin dan ibu bagi karyawannya. Dengan menjadi Leading by Example, ia tetap menjadi sosok yang friendly, rendah hati, dan mampu mengambil keputusan tertentu dengan sikap bijaksana. Budaya yang ditanamkan adalah dengan keyakinan sehingga memiliki satu visi yang sama.

Aminah sangat bersyukur pada Alloh atas apa yang dicapainya. Beliau sadar bahwa hidup di dunia hanya sebentar sehingga harus ada nilai ibadah dari setiap apa yang dilakukannya. Termasuk dalam memimpin Tiga Serangkai Group sehingga menjadi kerajaan bisnis yang menggurita di tanah air. Semoga kita juga bisa meneladani beliau, Hj. Siti Aminah.