Biografi Ibnu Taimiyah – Pemikir, Filsuf dan Teolog Muslim

Ibnu Taimiyah adalah salah satu pemikir muslim, filsuf dan teolog terkemuka yang memiliki sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Kasiyantop Kasemin mengungkapkan bahwa Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai teolog muslim paling masyhur, bahkan harus mengalami hidup di penjara dengan tragis. Benar sekali, Ibnu Taimiyah, ulama besar yang meringkuk dalam penjara Mesir. Baru saja ia bebas dari penjara, kemudian ditangkap lagi, dan dipenjarakan yang kedua kalinya selama setengah tahun lagi. Baru beberapa hari keluar dari penjara yang kedua, ia ditangkap lagi, dan dipenjarakan selama delapan bulan di Aleksandria, karena fatwanya tidak sesuai dengan paham para ulama. Meskipun berada di dalam penjara (di balik jeruji besi), namun ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang teolog dan pemimpin jamaah. Bagaimana caranya? Yakni dengan menulis surat kepada para jamaahnya.

Nama lengkapnya adalah Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani (alias Ibnu Taimiyah). Ia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki, la adalah seorang pemimpin sebuah jamaah yang dipatuhi. Kebijakan jamaah berdasarkan musyawarah dan pendapatnya. Para pengikutnya hidup bersamanya dalam keadaan suka dan duka, berperang di bawah perintahnya, dan terus membangun hubungan dengannya. Bahkan, ia sampai disiksa dan dizhalimi.

Ibnu Taimiyah lahir pada 22 Januari 1263 (10 Rabi'ul Awal 661 H), dan meninggal pada tahun 1328 (20 Dzulhijjah 728 H), la dilahirkan di sebuah tempat bernama Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Eufrat. la berasal dari keluarga religius. Ayahnya, Syihabuddin bin Taimiyah, adalah seorang syekh, hakim, dan khatib. Kakeknya, Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, adalah seorang ulama yang menguasai fiqh, hadits, tafsir, ilmu ushul, dan penghafal al-Qur'an (hafizh).

Ibnu Taimiyah lahir ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun, tepatnya tahun 1268, ia dibawa ayahnya ke Damaskus karena terjadinya agresi militer (serbuan tentara) Mongol atas Irak. Semenjak kecil, ia sudah memperlihatkan tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan al-Qur'an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh, dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia bahkan sudah menguasai ilmu ushuluddin, serta mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab, Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubus Sittah dan Mu'jam ath-Thabarani al-Kabir.

Kecerdasan Ibnu Taimiyah sudah menjadi buah bibir masyarakat. Suatu ketika, ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah, yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat kecerdasannya yang menjadi buah bibir itu. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata, ia mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, ia pun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata, “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar. Sebab, belum pernah ada seorang bocah sepertinya.”

Sejak kecil, Ibnu Taimiyah hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang ber­manfaat. la menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang al-Qur'an dan sunnah.

Ibnu Taimiyah adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan oleh Tuhan, mengikuti segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata, “Jika di benakku sedang berpikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang pelik bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid, atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Di Damaskus, Ibnu Taimiyah belajar pada banyak guru dan memperoleh berbagai ilmu, di antaranya ilmu hitung (matematika), khath (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, dan ushul fiqh. la dikaruniai kemampuan mudah dan sukar lupa. Bahkan, dalam usia muda, ia telah hafal al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan, pada usia 19 tahun, ia telah memberi fatwa dalam masalah-masalah keagamaan.

Ibnu Taimiyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri hadits dari periwayat atau pembawanya, dan fununul hadits (macam-macam hadits), baik yang lemah, cacat, maupun shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al- Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufasir atau ahli tafsir. Tiap malam, ia menulis tafsir, fiqh, ilmu ushul sambil mengomentari para filsuf. Sehari-semalam, ia bahkan mampu menulis empat buah kurrasah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syariah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangan Ibnu Taimiyah mencapai 500 judul. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa, yang berisi fatwa-fatwa dalam agama Islam.

Ibnu Taimiyah ternyata tidak hanya ahli dalam bidang ilmu'pengetahuan, tetapi juga ahli dalam hal perang. Buktinya, ia pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi, dan ia mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, ia juga bertempur di kota Yerusalem, dan mendapat kemenangan. Dan, sesudah kariernya itu, ia tetap mengajar sebagai profesor yang ulung.

Ibnu Taimiyah adalah seorang tokoh dunia yang besar setelah dipenjara. Pertanyaannya adalah, mengapa tokoh besar sekaliber Ibnu Taimiyah harus dipenjara? Jawabannya tak lain adalah karena adanya beda pemikiran dengan tokoh-tokoh lain, seperti Al- Qadhi al-Mufassir Badruddin Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jama'ah asy-Syafi'i, Al-Qadhi Ibnu Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi, Al-Qadhi Muhammad Ibnu Abu Bakar al-Maliki, dan Al-Qadhi Ahmad Ibnu Umar Al-Maqdisi al-Hambali. Keempat ulama yang juga menjabat qadhi inilah yang merekomendasikan fatwa untuk memenjarakan Ibnu Taimiyah. la bahkan berpindah-pindah penjara.

Setelah keluar-masuk penjara sebanyak empat kali maka akhir hidup Ibnu Taimiyah pun dihabiskan di dalam penjara, Ia wafat di dalam penjara Qal'ah Dimasyq, yang disaksikan oleh salah seorang muridnya, Ibnul Qayyim, ketika ia sedang membaca al-Qur'an surat al-Qamar, yang berbunyi, “Innal muttaqina fi jannatin wanaharin”. Ibnu Taimiyah berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, dan mengalami sakit selama 20 hari lebih, la wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H, dan dimakamkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya, Syekh Jamal al-lslam Syarafuddin. Jenazah Ibnu Taimiyah dishalatkan di masjid Jami' Bani Umaiyah sesudah shalat Zhuhur, yang dihadiri oleh para pejabat pemerintah, ulama, tentara, serta para penduduk.

Meskipun sering keluar-masuk penjara, dan meninggal di dalam penjara, namun Ibnu Taimiyah tetap menjadi tokoh besar yang dicintai, dihormati, dan dipuji oleh jamaahnya. Bahkan, sampai saat ini pun, pemikiran-pemikirannya banyak dijadikan rujukan dan dikaji dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.