Biografi Niccolo Machiavelli – Filsuf Politik dari Italia

Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan kekejaman dan kekuatan. Selaku filsuf yang tak bermoral, ia dikutuk banyak orang. Namun, ia juga dipuja oleh sebagian orang selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya. Ia adalah salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi, baik filsafat maupun politik.

Machiavelli lahir pada tahun 1469 di Florence, Italia. Ayahnya adalah seorang ahli hukum. Ia berasal dari keluarga terkemuka, tetapi tidak begitu berada. Ia hidup pada masa puncak-puncaknya Renaissance Italia. Saat itu, Italia terbagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negara yang bersatu, seperti Prancis, Spanyol, dan Inggris. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam masanya, Italia lemah secara militer padahal brilian dari segi kultur.Saat Machiavelli masih muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo. Tetapi, Lorenzo meninggal dunia pada tahun 1492 dan beberapa tahun kemudian, penguasa Medici yang baru diusir dari Florence. Setelah itu, Florence menjadi negara, republik bernama Republik Florentine. Pada tahun 1498, Machiavelli yang sudah berumur 29 tahun memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu, ia mengabdi kepada Republik Florentine dan terlibat dalam pelbagai misi diplomatik atas namanya, serta melakukan perjalanan ke Prancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia.

Pada tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali memegang tampuk kekuasaan. Machiavelli pun dipecat dari posisinya, dan setahun berikutnya, ia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Ia disiksa, namun tetap bertahan bahwa dirinya tidak bersalah, dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Setelah itu, ia pensiun dan tinggal di sebuah perkebunan kecil di San Casciano, tidak jauh dari Florence.

Selama empat belas tahun sesudah itu, ia menulis beberapa buku, dua di antaranya yang paling terkenal adalah ‘Il Principe' atau ‘The Prince' (Sang Pangeran) yang ditulis pada tahun 1513 dan ‘Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio' atau ‘The Discourses upon the First Tin Books of Titus Livius' (Diskursus tentang Sepuluh Buku Titus Livius). Karya-karyanya lain yang juga cukup terkenal adalah ‘Dell’arte Della Guerra' atau ‘The Art of War' (Seni Berperang), ‘Istorie Florentine' atau ‘A History of Florence' (Sejarah Florence), dan ‘La Mandragola ‘(berbentuk drama, yang sampai saat ini terkadang masih dipentaskan ai panggung).

Akan tetapi, di antara banyak karyanya, The Prince mungkin adalah karya yang paling brilian yang pernah ia tulis, karena memang The Prince paling mudah dibaca dari semua tulisan filosofis yang ada. The Prince bisa dianggap sebagai nasihat praktis terpenting untuk seseorang kepada negara. Sebab, The Prince sebenarnya adalah surat Machiavelli kepada Lorenzo de’ Medici, penguasa Florence kala itu. Pikiran dasar buku tersebut adalah, untuk mencapai suatu keberhasilan, seorang pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya serta mengandaikan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Dalam buku tersebut, Machiavelli menekankan bahwa di atas segala-galanya, yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Ia berpendapat bahwa hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendirilah yang bisa dipercaya, sementara negara yang bergantung kepada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihati sang pangeran agar men­dapatkan dukungan rakyat, karena kalau tidak, ia tidak mempunyai sumber kekuatan untuk menghadapi kesulitan. Tentu saja, Machiavelli menyadari bahwa seorang penguasa baru, untuk memperkokoh ke­kuasaannya, terkadang harus berbuat sesuatu guna mengamankan kekuasaannya, meski terpaksa harus berbuat yang tidak menyenangkan rakyatnya. Namun demikian, ia menyarankan bahwa untuk merebut suatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Rakyat tidak perlu diberi kelonggaran setiap hari sedikit demi sedikit, sehingga mereka merasa senang. Untuk mencapai sukses, seorang pangeran harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mumpuni dan setia. Dalam hal ini, Machiavelli memperingatkan sang pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan meminta pendapat apa yang layak ia lakukan. Pada bab 17 buku Prince, Machiavelli membicarakan bahwa seorang pangeran lebih baik dibenci daripada dicintai.

The Prince sering dijuluki sebagai “buku petunjuk untuk para diktator.” Karier Machiavelli dan pelbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum, sebenarnya ia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi, ia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer Italia, serta merindukan seorang pangeran tangguh yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menistakan negerinya.

Prinsip-prinsip yang Machiavelli paparkan dalam Prince selanjutnya dikenal sebagai Machiaveilianisme dan orang yang mengikutinya disebut Machiavellian. Pada abad ke-20, Machiaveilianisme sangat menonjol dalam taktik hubungan internasional. Konon, Napoleon Bonaparte, sang diktator Prancis, selalu menyelipkan buku The Prince di bawah bantalnya. Kepemimpinan Stalin, Hitler, dan Mussolini juga sangat dipengaruhi oleh Machiavellianisme. Akan tetapi, hanya Mussolini yang berani menyatakan kekagumannya atas ajaran Machiavelli secara terang- terangan di depan publik, sedangkan pemimpin lainnya enggan berterus terang.

Machiavelli menikah dengan Marietta Corsini pada tahun 1502 dan mempunyai enam anak dari pernikahannya. Ia meninggal dunia pada tahun 1527 pada usia 58 tahun.