Biografi Recep Tayyip Erdogan – Presiden Turki Yang Sempat Menjadi Pesepakbola

Recep Tayyip Erdogan lahir pada 26 Februari 1954. la adalah seorang politikus Turki. Ia pernah menjabat Perdana Menteri Turki sejak tanggal 14 Maret 2003. Ia juga seorang pimpinan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pem­bangunan). Pada tahun 2010, Recep Tayyip Erdogan terpilih sebagai muslim paling berpengaruh di dunia.

Erdogan lahir di Istanbul, namun ia dibesarkan di Rize, pesisir Laut Hitam. Lalu, ia kembali ke Istanbul pada usia sekitar 13 tahun dalam sebuah keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang pelaut yang bertugas sebagai penjaga pantai di Angkatan Laut dan berasal dari Rize. Semasa kecil, Erdogan belajar di sekolah agama, Sekolah Imam Hatip, dan melanjutkan ke Universitas Marmara untuk belajar ekonomi dan bisnis. Pada usia 16 tahun, ia sempat menjadi pemain sepakbola semi profesional, dan bekerja di perusahaan angkutan kota Istanbul.

Erdogan terjun ke dalam politik bersama Partai Keselamatan Nasional (Milli Selamet Partisi) yang islamis, di bawah pimpinan Necmettin Erbakan, dan kini telah dibubarkan. Setelah terjadinya kudeta militer pada tanggal 12 September 1980, ia meninggalkan sepakbola dan bekerja di sektor swasta. Dan, pada 1982, ia menjalani wajib militer sebagai seorang perwira dengan tugas khusus.

Pada tahun 1983, Erdogan mengawali kariernya bersama Partai Keselamatan Nasional, kemudian mendirikan Partai Kesejahteraan (Refah Partisi) setelah demokrasi dipulihkan.

Dua tahun berikutnya, tahun 1985, ia menjadi Ketua Partai Kesejahteraan di Provinsi Istanbul, dan ikut serta dalam pemilihan wali kota untuk wilayah kosmopolitan Beyoglu di Istanbul tengah, dan sebagai calon untuk Dewan Nasional Agung Turki beberapa kali pada akhir tahun 1980-an.

Pada tahun 1991, Partai Kesejahteraan melampaui ambang 10% yang dibutuhkan untuk memperoleh kursi untuk pertama kalinya di Dewan Nasional Agung, dan Erdogan terpilih sebagai anggota parlemen dari provinsi Istanbul, meskipun kursi ini kemudian dicabut oleh Komisi Pemilihan Pusat karena adanya sistem pemilihan yang berlaku saat itu. Namun, dalam pemilu lokal pada tanggal 27 Maret 1994, Partai Kesejahteraan menjadi partai terbesar di Turki untuk pertama kalinya, dan Erdogan menjadi Wali Kota Istanbul Raya serta Presiden dari Dewan Metropolitan Istanbul Raya.

Sebagai Wali Kota Istanbul, Recep Tayyip Erdogan menjadi terkenal karena ia seorang administrator yang efektif dan populis, membangun prasarana dan jalur-jalur transportasi Istanbul, dan pada saat yang sama memperindah kota itu. Dalam prosesnya, ia menjadi politikus Turki yang paling populer. Prestasinya yang menonjol yang sulit dilupakan oleh warga adalah keberhasilannya dalam pengadaan air bersih untuk penduduk kota, penertiban bangunan, mengurangi kadar polusi dengan melakukan aksi penanaman ribuan pohon di jalan-jalan kota, memerangi praktik prostitusi liar dengan memberikan pekerjaan lebih terhormat kepada wanita muda, dan melarang menyuguhkan minuman keras di tempat yang berada di bawah kontrol Wali Kota Istanbul.

Ketika mendeklarasikan Partai Keadilan Pembangunan AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) yang berhaluan Islam pada Agustus 2001, Erdogan mampu membawa partainya ibarat cahaya yang akan menerangi kegelapan. Kemenangan partainya dalam pemilu 3 November 2002 dengan 34,1% suara bahkan secara otomatis menaikkan citra sebagai perdana menteri. Wakil Ketua AKP, Abdullah Gul, yang ditunjuk oleh Presiden Ahmet Necdet Sezer. Namun, setelah semua kasus yang menimpanya dianggap selesai dan disetujui oleh parlemen, ia kemudian menggantikan Abdullah Gul sebagai Perdana Menteri Turki.

Dalam politik luar negerinya, meskipun Turki merupakan satu dari beberapa Negara Timur Tengah yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, namun Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa ia akan melawan jika Israel menyerang Lebanon dan Gaza.

Diakui atau tidak, hegemoni Barat yang sangat dahsyat hampir membuat semua negara di dunia, termasuk negara Islam, takluk. Namun, kedahsyatan dan kehebatan hegemoni Barat itu dalam “menjajah” negara-negara muslim bukan berarti tidak ada yang berani menentangnya. Dalam catatan sejarah, setidaknya ada dua penguasa negara muslim yang dengan terang-terangan berani menentang hegemoni Barat. Siapakah mereka? Pertama, adalah Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran. Kedua, Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki. Maka dari itu, keduanya dapat disebut sebagai si “Bengal”.

Menantang hegemoni Barat oleh negara muslim adalah laksana perlawanan Daud (David) terhadap Jaluth (Goliath). Sebuah perlawanan yang tak seimbang dan penuh dengan risiko. Meskipun demikian, si “Bengal” masih memiliki keberanian untuk melakukannya. Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss, dengan gagah berani, Erdogan berkata dengan pedas di samping Simon Peres, Presiden Israel, tentang kebengisan negara Zionis dalam serangan ke Gaza Palestina yang terjadi beberapa waktu lalu.

“Kamu pembunuh! Dan, saya berpendapat, tindakan itu sangat keliru”, seru Erdogan dengan lantang. “Anda mengetahui betul pembantaian terhadap warga Palestina. Saya masih ingat dua mantan perdana menteri di negaramu yang pernah mengaku senang saat tank-tank Israel berhasil menjejakkan kehadiran di tanah Palestina,” tambahnya. Tak urung, Simon Perez meradang, dan membela habis-habisan kebijakan negaranya.

Nah, keberanian Erdogan menentang Israel tersebut menjadi satu bukti bahwa ia berani menentang hegemoni Barat (Amerika dan sekutunya). Sudah menjadi rahasia umum, menentang Israel secara terbuka adalah sama artinya menentang Amerika untuk berperang. Padahal, semua orang tahu, Amerika saat ini adalah negara adidaya di dunia yang belum ada negara penyaingnya yang sepadan. Kekuatan Amerika nyaris meliputi semua aspek, seperti diplomasi luar negeri, militer, teknologi, budaya, pers, pendidikan, dan lain-lain. Semua negara di dunia tak bisa menahan penetrasi Amerika, baik dalam bentuk politik, budaya, militer, maupun bidang lainnya.

Hanya ada satu negara muslim yang disebut-sebut sebagai negara yang layak menjadi lawan Amerika, dan Amerika pun takut padanya, yaitu Iran. Sebagaimana diungkapkan oleh Rizern Aizid (2013), Iran adalah Singa Padang Pasir yang memiliki kekuatan militer setaraf dengan Amerika dan sekutunya. Tidak hanya itu, presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejat, adalah sosok presiden muslim paling berani menentang hegemoni Barat.

Menyuarakan kepentingan umat Islam di dunia internasional bukanlah sesuatu yang mudah. Padahal, kondisi umat Islam di berbagai negara sangatlah mengenaskan. Tertindas dan terjajah. Afghanistan, Kashmir India, Irak, Mindanao Filipina, Pattani Thailand, dan lain-lain adalah wilayah-wilayah yang selama ini masih bergolak di bawah tekanan penguasa lokal dan Asing. Ketika Erdogan berani berkata lantang tentang umat Islam di Gaza yang baru saja digempur habis-habisan oleh Israel, maka ia pun disambut gegap gempita oleh dunia islam, la laksana seorang pahlawan yang berani berjibaku melawan kekuatan besar dunia melalui forum diplomasi internasional. Setibanya di Turki seusai pulang dari Davos, ia pun disambut ribuan orang yang mengelu-elukan, la laksana pahlawan yang baru menang dari pertempuran.

Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos itu, Recep Tayyip Erdogan mengungkapkan bahwa ia diperlakukan tidak adil oleh sang moderator debat saat itu yang diikuti oleh dirinya sendiri, Azerbaijan, dan Israel yang diwakili oleh Simon Perez. Erdogan hanya diberi waktu bicara selama 12 menit, sedangkan Simon Peres selama 24 menit. Perlakuan tidak adil itu pula yang menyulut emosinya sehingga kemudian ia melakukan aksi walk out dari forum internasional tersebut.

Terdapat satu hal menarik yang bisa diambil pelajaran dari sikap Recep Tayyip Erdogan. Meskipun ia bersitegang dengan Simon Peres di sebuah forum internasional yang disaksikan oleh banyak pemimpin negara dari seluruh dunia, namun ia tetap menyatakan bahwa hubungan kedua negara, Turki dan Israel, tetap tidak terganggu. Hubungan keduanya pun secara pribadi tetap terjalin dengan baik. Usai bersitegang di forum Davos itu, keduanya pun kembali bertelepon ria sebagai dua orang pimpinan negara bersahabat. Inilah sikap yang patut dicontoh oleh para pemimpin negara di seluruh dunia. Perbedaan sikap politik tidak lantas melahirkan permusuhan secara pribadi.

Dalam perjalanan sejarah, Turki sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sejak dahulu. Sikap Turki tersebut berbeda dengan kebanyakan negara muslim yang tidak mengakui negara Israel sehingga tidak menjalin hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Hubungan Turki dengan Israel merupakan peninggalan kebijakan luar negeri dari para penguasa Turki sebelumnya yang notabene sekuler dan sangat pro-Barat. Namun, meskipun menentang kebijakan agresi Israel terhadap Gaza, Turki tetap menganggap Israel sebagai sebuah negara sah yang harus dijaga hubungan diplomatiknya. Bahkan, Turki mempunyai peran penting sebagai penengah konflik Palestina dengan Israel. Sikap Turki yang kritis terhadap kebijakan Barat merupakan sinyal perubahan geopolitik Turki. Selama ini, Turki terus berupaya untuk diakui sebagai anggota komunitas negara Barat dalam lembaga Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Sayang sekali, Turki belum juga diterima sebagai anggota MEE. Alasan yang dihembuskan adalah karena Turki mempunyai masalah HAM di masa lalu karena terlibat dalam Genosida di Armenia dan terhadap minoritas Kurdi. Sebuah alasan yang ditolak mentah-mentah oleh pihak Turki.