Biografi William Soeryadjaya – Konglomerat Yang Pernah Tinggal Kelas 2 Kali

Di Indonesia, William Soeryadjaya dikenal sebagai konglo­merat yang sangat sukses yang memulai bisnisnya dari bawah. Ia adalah anak kedua dari enam bersaudara. Saat masih seko­lah dasar, William pernah tidak naik kelas. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke tingkat lanjut pertama, dan tidak naik kelas lagi. Meski prestasi sekolahnya kurang memuaskan, diam-diam William menyukai pelajaran Ekonomi dan Tata Buku.

William Soeryadjaya lahir di Majalengka, Jawa Barat, 20 De­sember 1922. Saat usianya baru 12 tahun, William sudah men­jadi yatim piatu, ia mendapat tugas untuk meneruskan usaha ayahnya yang berjualan hasil bumi. Dan pada usia 19 tahun, ia putus sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Wil­liam memilih berdagang.

Saat itu, di Cirebon mengalami kekurangan kertas bekas. William cari-cari info di mana ia bisa mendapatkan kertas bekas tersebut. Setelah tahu, ia pun segera meluncur ke Bandung, dan membawa pulang kertas bekas dengan truk sampai Cire­bon. Perjuangan yang melelahkan namun membahagiakan. Hasil keuntungan dari penjualan kertas diputar kembali untuk berdagang. William mencari peluang lain lagi, kini ia memilih menjadi pemasok benang tenun di pabrik tekstil di Majalaya.

William adalah tipe pengusaha yang terus mencari peluang-peluang baru, ini terbukti dari rekam jejak bisnisnya. Setelah mendapatkan cukup uang sebagai pemasok benang, ia lalu beralih menjual minyak kacang, beras, dan gula.

Menyadari perkembangan bisnisnya yang tidak terlalu cepat, ia memutuskan hijrah ke kota Kembang. William melihat potensi di Bandung tebih besar ketimbang di Majalengka. Per­putaran uang di Bandung lebih cepat dan lebih besar. Di kota para bidadari inilah, William muda bertemu dengan Lily Anwar, gadis keturunan Tionghoa yang sangat cantik, lincah dan ba­nyak disukai cowok-cowok. Lily merupakan anggota Chinese Red Cross yang diketuai Om Dollar, ayah mertua dari Rudi Hartono (Jawara bulu tangkis internasional)

Setelah saling mengenal, keduanya menikah. Saat itu usia William 24 tahun, dan Lily 23 tahun. Proses pernikahan William berlangsung sangat gampang dan sederhana. Keduanya naik becak dengan mengenakan baju biasa. Tidak ada pesta, tanpa tamu, apalagi tukang potret. Keduanya menikah dengan sangat sederhana, dengan ekonomi yang sederhana pula. William dikarunia 2 putra dan 2 putri. Keempat anaknya kini menjadi pengusaha besar.

Kalau biasanya pengantin baru happy-happy dan honeymoon, William malah pergi ke Belanda untuk belajar cara penyamakan kulit. Tak berapa lama kemudian Lily menyusul. Keduanya hanya menikmati malam pengantin selama 2 minggu.

William mempunyai anak pertama pada usia 26 tahun. Keduanya sangat bahagia, meski makan sepiring berdua. William dan Lily hidup bersahaja dengan jualan kacang dan rokok paket kiriman dari Bandung. Kedua pasangan ini hidup berhemat.

Pulang dari Belanda, William sudah jago penyamakan kulit. Ia lalu membuat pabrik kulit. William sangat cerdas mengambil peluang tersebut. Waktu itu, usaha kulit belum banyak seperti sekarang. Pabrik kulitnya berkembang dan menghasilkan laba yang besar. Setelah itu, kepengurusan pabrik kulitnya dipegang temannya. William pun mencari lahan bisnis baru. William kemudian mendirikan CV Sanggabuana yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor-impor. Celakanya, William ditipu rekan bisnisnya. Waktu itu, ia rugi besar.

Pada usia 35 tahun (1957), William bersama adik dan temannya mendirikan Astra. Bidang garapnya belum motor atau mobil, tapi distribusi minuman ringan, merk Prem Club, lalu diteruskan dengan mengekspor hasil bumi, termasuk mi­nyak serai. Setelah itu baru alat-alat berat, alat tulis kantor, hingga perkayuan.

Pada usia 45 (1967), William mulai dikenal dan mendapat kesempatan untuk mendatangkan truk. Ini adalah proyek pemerintah Orde Baru. William mendapat kesempatan itu, ia mendatangkan 800 truk Chevrolet dari General Motor, sebuah perusahaan raksasa di AS. Dalam waktu yang singkat, uang cair dan William mengantongi uang yang sangat banyak. Untung yang sebegitu besarnya, segera diputar lagi. Nampak William adalah pengusaha yang banyak akal. Idenya selalu segar. Tak berapa lama, Astra merakit alat berat, bekerjasama dengan Komatsu, mobil Toyota dan Daihatsu, sepeda motor Honda, dan mesin kopi Xerox. Dialah pelopor otomotif di Indonesia.

Dua tahun kemudian, tepatnya 1969, William membeli 60% saham Gaya Motors. Pada usia 55 tahun (1977), Astra mem­buat mobil Toyota Kijang. Pada tahun itu, penjualan Kijang mencapai 200 unit perbulan. Kini setelah melewati lima generasi, Kijang innova berproduksi di atas 3.000 unit perbulan yang melayani pasar domestik maupun ekspor.

William mempunyai banyak tanah di lokasi strategis di Ja­karta Selatan. Pada usia 62 tahun (1984) ia menjual tanahnya dengan harga murah. Di tanah tersebut, kini berdiri gedung In­stitut Manajemen Prasetia Mulya. Inilah kampus elit yang digu­nakan untuk mendidik para manajer dari berbagai perusahaan nasional. Meski pernah mengalami gagal naik kelas, William duduk sebagai wakii ketua dewan Pembina.

Pada usia 62 (1984), William masuk ke Agrobisnis dan mem­beli Summa Handels Bank Ag, Deulsdorf, Jerman. Pada usia 63 tahun (1985), William mulai mengekspor busi dan mesin Toyota. William dikenal sangat memperhatikan sumber daya manusia dan quality control. Orang Jepang yang sangat ribet dengan kualitas sangat menyukai cara kerja William yang disip­lin dan progresif. Pada usia 68 tahun (1990), Astra mencatatkan sahamnya di bursa Jakarta dan Surabaya.

Pada usia 70 tahun (1992), William harus menelan pil pa­hit. Astra harus dijual. Kejadian ini terjadi karena Bank Summa yang dipegang oleh Edward, putra pertamanya mengalami ke­bangkrutan. Edward yang dikenal loyal kepada temannya, jor-joran kasih kredit. Hasilnya para temannya tidak mampu bayar, terjadilah kredit macet. Utang Bank Summa mencapai triliunan rupiah.

William rela menjadi tameng bagi anaknya agar tidak dipen­jara. Ia menjadikan dirinya sebagai garansi, dengan merelakan 100 juta sahamnya harus dijual sebagai pengganti utang yang sangat besar itu. Itulah terjadi pada tahun 1992. Masa yang sangat berat bagi William. Waktu itu orang-orang yang dianggap teman malah memanfaatkan keadaan tersebut. Para temannya malah ingin mengambil perusahaan William yang dikenal terus mencetak laba. Ibarat sebuah gadis, Astra adalah bidadari surga yang turun ke bumi. Para arjuna ingin memiliki­nya, meski si bidadari adalah milik teman sendiri.

Meski harus kehilangan Astra, William masih memiliki ratu­san perusahaan lainnya. Dari Karabha Group, Malabar Group, Sidita Group, Siratara Group, Watek Group, Suryaraya Group, Nityasa Group, dan Arya Group masih menghasilkan laba yang terus masuk kantong si taipan ini. Meski tidak sekaya dulu, Wil­liam tetaplah masuk jajaran konglomerat. Dari sekitar 413 pe­rusahaan, kini tinggal 322 perusahaan.

William merupakan tipe pebisnis yang sangat menjaga nama baiknya. Dalam dunia bisnis, kepercayaan menduduki tingkat tertinggi. Meski beberapa temannya menjauhi William, namun kolega dari luar negeri (Jepang, Jerman, Singapura, Prancis, Korsel) malah angkat topi dengan sikap gentle William.

Meski Astra menjadi milik orang lain, pada 1995, ada se­buah penelitian yang dilakukan Pusat Data Bisns Indonesia. Ha­sil penelitian membeberkan omzet bisnis keluarga William ma­sih tetap tinggi. Omzetnya mencapai Rp 6,7 triliun. William sendiri mengatakan bahwa “kejatuhan bisnis tidak membuat semangatnya mengendur”

Pada usia 78 tahun (2000), William berhasil menjadi pemegang saham mayoritas di PT. Van Der Horst Indonesia (VOHI). Ia menggeser posisi BambangTrihatmodjo dan Johannes Kotjo yang tadinya berkuasa di VDHI. Sebagai pemegang saham ma­yoritas, dengan 51,5 persen, VDHI diubah namanya menjadi PT Siwani Makmur.

William Soeryadjaya dikenal memiliki jiwa murah hati. Ba­nyak kesaksian para karyawan kalau mereka dikasih duit dada­kan. Ada karyawannya Astra yang menyapanya waktu di Singa­pura, tiba-tiba William menanyai si karyawannya itu, namamu siapa? Kerja di mana? Di divisi apa? Setelah itu, uang dadakan segera keluar.

Jiwa dermawan William dikenal tidak hanya kepada kar­yawannya saja, ia juga suka memberi uang dadakan kepada pramugari dan kapten pesawat. William biasa menyapa duluan dan memberikan uang dadakan. Rezeki nomplok.

William juga dikenal sebagai gurunya para konglomerat. Seorang konglomerat Indonesia, raja Media dan Percetakan, Jakob Oetama pernah berkisah, bahwa quality control perusa­haannya dipelajari dari William. Pada saat itu William meme­rintahkan beberapa karyawannya untuk mengajari Jakob ten­tang managemen perusahaan. Jakob mengatakan bahwa meski William telah sukses dan duduk sebagai Presiden Direktur, ia masih mudah untuk ditemui.

Pada tahun 1984, Astra mengadakan peresmian Daihatsu Engine Manufactur Indonesia. Saat itu, jalan di sepanjang Sun­ter, Jakarta Pusat padat. Mobil-mobil undangan merayap dan jalanan menjadi macet. Khawatir datang terlambat, William keluar dan ingin naik ojek.

Seorang staf Astra melihat bosnya berada di pinggir jalan segera saja menyapa. Kemudian terjadi tanya jawab, si staf langsung menawarkan diri untuk mengantarkan si bos ke tem­pat peresmian. Dalam perjalanan Si bos tanya nama dan divisi si karyawan.

Tak berapa lama setelah peristiwa itu, sebuah motor baru, dikirimkan kepada karyawan yang mengantarkan si bos terse­but. William dikenal dekat dengan karyawan jajaran atas sam­pai office boy, bahkan pedagang kaki lima di depan kantor juga diakrabinya. Kebaikan hati inilah yang barangkali menjadi ke­mudahan rezeqi bagi William. Allah memberikan rezeqi lewat hamba-Nya. Jika kita baik kepada hamba-Nya, maka rezeqi kita akan dimudahkan,

William adalah seorang Kristiani. Namun di Astra, setiap hari Jum'at yang Muslim mendirikan shaiat Jumat, yang Kristen atau Katolik akan adakan persekutuan doa. Bahkan saat Leba­ran, si bos ini menyalami semua karyawannya dari lantai satu hingga lantai empat.

Dalam menjalankan roda bisnisnya, William menyerahkan kepada para professional, ia sangat suka membuat perusahaan dan menyerahkan kepengurusannya kepada para professional. Menurut William hal Ini akan lebih memudahkan beban ker­janya dan membuat dia leluasa berpikir tanpa harus dibebani beban yang banyak. Dalam waktu yang sangat singkat, William mempunyai lebih dari 400 ratus perusahaan. Sebuah pencapaian luar biasa tentunya.

William Soeryadjaya meninggal pada usia 88 tahun, ia menghembuskan nafas terakhir pada 2 April 2010 pukul 22.43. Para konglomerat sampai tukang sapu di jalan datang meng­hadiri pemakaman beliau.

Tips berbisnis William Soeryadjaya

  • BERMIMPI BESAR : William dikenal sebagai juragan yang punya banyak kemauan. Ide-ide yang sangat banyak, dan se­mangatnya tinggi. Ia rela meninggalkan kampung halamannya di Majalengka dan hijrah ke Bandung. Ini semua dilakukannya untuk mewujudkan mimpinya.
  • MASUK PADA BISNIS YANG TEPAT : Tidak semua bisnis menghasilkan laba dan tumbuh dengan cepat. William masuk ke pasar yang masih perawan dan menguasainya. Dari otomo­tif, kelapa sawit, dan masih banyak lainnya. Perkebunan kelapa sawit Astra merupakan salah satu yang terbesar.
  • CARE TERHADAP KARYAWAN : Ada montir yang mempu­nyai potensi dan etos kerja yang bagus. William kemudian me­nyekolahkannya lagi sehingga menjadi insyiyur. William dikenal sangat dekat dengan karyawan dan peduli dengan kesejahter­aan mereka.
  • DERMAWAN : William merupakan pribadi yang dermawan, la adalah orang Indonesia pertama yang masuk menjadi ang­gota Asia Society. Banyak orang yang menyukai sikap murah hati si bos ini.
  • KERJA KERAS : Sejak masih menjadi pengusaha kecil di Cire­bon, William muda terbiasa bekerja keras, la mencari tahu apa kebutuhan pasar, dan berusaha memenuhi kebutuhan pasar.
  • MENJAGA HUBUNGAN BAIK : Networking yang luas men­jadikan William eksis. Dia biasa menyalami orang dan mena­nyakan kabar keluarganya. Tidak hanya kepada kolega bisnis, tapi juga satpam di kantor.
  • MANAJEMEN YANG MANTAB : William menekankan penge­lolaan bisnisnya pada konsep profesionalitas. Seorang montir di Astra bisa menjadi Direktur, jika ia memang layak menduduki kursi itu.